Rabu, 09 Maret 2011

Analisis Kesalahan Berbahasa


Bahasa sangat berperan penting dalam kehidupan manusia. Tanpa bahasa, maka kehidupan manusia akan kacau. Sebab dengan bahasalah manusia dapat menyampaikan isi hatinya, baik perasaan senang, sedih, kesal dan hal lainnya. Jadi, dengan adanya bahasa, manusia dapat menerima informasi antarsesamanya. Selain berfungsi sebagai ungkapan ekspresi, bahasa juga berfungsi sebagai sarana pengajaran. Proses belajar mengajar tidak akan berjalan tanpa adanya suatu media pengantar yaitu bahasa.
Bahasa Indonesia merupakan bahasa terpenting di negara Republik Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara yang telah ditetapkan dan dikukuhkan dalan Sumpah Pemuda tahun1928 dan UUD 1945, BAB XV pada pasal 36. Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai lambang kebanggaan bangsa, identitas nasional dan alat perhubungan antardaerah. Fungsi bahasa Indonesia sebagai sebagai bahasa negara adalah sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa pengantar dunia pendidikan, alat perhubungan tingkat nasional, alat pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan serta teknologi. Oleh karena pentingnya bahasa Indonesia maka di dunia pendidikan, baik negeri maupun swasta, bahasa Indonesia dicantumkan sebagai mata pelajaran wajib mulai dari sekolah dasar sampai ke sekolah menengah umum, dan pada perguruan tinggi bahasa Indonesia dicantumkan sebagai mata kuliah pilihan dalam kumpulan mata kuliah ilmu pengetahuan dan teknologi.
Keterampilan berbahasa (Language Skills) dalam kurikulum di sekolah mencakup empat kegiatan keterampilan  yaitu menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Setiap kegiatan keterampilan berbahasa erat pula hubungannya dengan proses berpikir yang mendasari bahasa. 
Salah satu aspek keterampilan menulis adalah sebuah keterampilan berbahasa yang terpadu, yang ditujukan untuk menghasilkan sesuatu yang disebut tulisan. Sekurang-kurangnya, ada tiga komponen yang tergabung dalam perbuatan menulis, yaitu: (1) penguasaan bahasa tulis, yang akan berfungsi sebagai media tulisan, meliputi: kosakata, struktur kalimat, paragraf, ejaan, pragmatik, dan sebagainya; (2) penguasaan isi karangan sesuai dengan topik yang akan ditulis; dan (3) penguasaan tentang jenis-jenis tulisan, yaitu bagaimana merangkai isi tulisan dengan menggunakan bahasa tulis sehingga membentuk sebuah komposisi yang diinginkan, seperti esai, artikel, cerita pendek, makalah, dan sebagainya.
Seorang penulis pemula tidak akan mungkin terampil menulis kalau hanya menguasai satu atau dua komponen saja di antara ketiga komponen tersebut. Betapa banyak penutur yang menguasai bahasa Indonesia secara tertulis tetapi tidak dapat menghasilkan tulisan karena tidak tahu apa yang akan ditulis dan bagaimana menuliskannya. Betapa banyak pula penutur yang mengetahui banyak hal untuk ditulis dan tahu pula menggunakan bahasa tulis tetapi tidak dapat menulis karena tidak tahu caranya.
            Menulis bukan pekerjaan yang sulit melainkan juga tidak mudah. Untuk memulai menulis, setiap penulis tidak perlu menunggu menjadi seorang penulis yang terampil. Belajar teori menulis itu mudah, tetapi untuk mempraktikkannya tidak cukup sekali dua kali. Frekuensi latihan menulis akan menjadikan seseorang terampil dalam bidang tulis-menulis.
Tidak ada waktu yang tidak tepat untuk memulai menulis. Artinya, kapan pun, di mana pun, dan dalam situasi apapun dapat melakukannya. Ketakutan akan kegagalan bukanlah penyebab yang harus dipertahankan. Itulah salah satu kiat, teknik, dan strategi yang ditawarkan oleh David Nunan (1991: 86—90) dalam bukunya Language Teaching Methodology. Dia menawarkan suatu konsep pengembangan keterampilan menulis yang meliputi: (1) perbedaan antara bahasa lisan dan bahasa tulisan, (2) menulis sebagai suatu proses dan menulis sebagai suatu produk, (3) struktur generik wacana tulis, (4) perbedaan antara penulis terampil dan penulis yang tidak terampil, dan (5) penerapan keterampilan menulis dalam proses pembelajaran.
Pencapaian tulisan yang baik harus mengandung unsur kebahasaan yang kompleks tanpa mengabaikan unsur-unsur terkecil aspek kabahasan yang menunjang terbentuk sebuah tulisan yang baik. Dalam hal ini, aspek ejaan merupakan aspek terpenting dalam pembetukan tulisan yang baik. Diketahui bahwa ejaan menentukan proses pembentukan kalimat dan kebermaknaan kalimat. Oleh karena itu meminimalisasi kesalahan penggunaan ejaan sangat penting dalam sebuah tulisan.
 Kesalahan berbahasa yang dihasilkan seseorang untuk dianalisis haruslah data yang dapat dipercaya (reliable) dan sahih yang menggambarkan kemampuan seseorang dalam berbahasa. Analisis kesalahan berbahasa dilakukan dengan menganalisis (mengidentifikasi) kesalahan aspek-aspek bahasa tertentu yang mendukung wacana yang dihasilkan seseorang. Kadang-kadang kesalahan yang bersifat kompleks mencakup berbagai aspek sekaligus, kadang kala pula bersifat sederhana. Terhadap kesalahan yang bersifat kompleks perlu diberlakukan pengkajian secara integratif.
Dalam hubungannya dengan penelitian ini, analisis kesalahan berbahasa tepat dilakukan oleh peneliti sebagai usaha kearah perbaikan, pembinaan dan pengembangan pengajaran bahasa. Corder mengemukakan bahwa mempelajari kesalahan bahasa akan memberi keuntungan bagi para peneliti (1975:31) para peneliti akan memperoleh penjelasan tentang letak kesalahan tersebut dan bagaimana cara atau proses pengusaan (akuisi) bahasa terjadi. Manfaat lain adalah kenyataan bahwa selalu terjadi kesalahan pemakai bahasa dalam pemakaian bahasa dan dapat memanfaatkan kesalahan itu sebagai alat bagi orang tersebut sebagai sesuatu yang harus dibenarkan.
Dalam bukunya yang berjudul “Common Error in Language Learning” H.V. George mengemukakan bahwa kesalahan berbahasa adalah pemakaian bentuk-bentuk tuturan yang tidak diinginkan (unwanted form) khususnya suatu bentuk tuturan yang tidak diinginkan oleh penyusun program dan guru pengajaran bahasa. Bentuk-bentuk tuturan yang tidak diinginkan adalah bentuk-bentuk tuturan yang menyimpang dari kaidah bahasa baku. Hal ini sesuai dengan pendapat Albert Valdman yang mengatakan bahwa yang pertama-tama harus dipikirkan sebelum mengadakan pembahasan tentang berbagai pendekatan dan analisis kesalahan berbahasa adalah menetapkan standar penyimpangan atau kesalahan. Sebagian besar guru bahasa Indonesia menggunakan kriteria ragam bahasa baku sebagai standar penyimpangan.
Pengertian kesalahan berbahasa dibahas juga oleh S. Piet Corder dalam bukunya yang berjudul Introducing Applied Linguistics. Dikemukakan oleh Corder bahwa yang dimaksud dengan kesalahan berbahasa adalah pelanggaran terhadap kode berbahasa. Pelanggaran ini bukan hanya bersifat fisik, melainkan juga merupakan tanda kurang sempurnanya pengetahuan dan penguasaan terhadap kode. Si pembelajar bahasa belum menginternalisasikan kaidah bahasa (kedua) yang dipelajarinya. Dikatakan oleh Corder bahwa baik penutur asli maupun bukan penutur asli sama-sama mempunyai kemugkinan berbuat kesalahan berbahasa. Berdasarkan berbagai pendapat tentang pengertian kesalahan berbahasa yang telah disebutkan di atas, dapatlah dikemukakan bahwa kesalahan berbahasa Indonesia adalah pemakaian bentuk-bentuk tuturan berbagai unit kebahasaan yang meliputi kata, kalimat, paragraf, yang menyimpang dari sistem kaidah bahasa Indonesia baku, serta pemakaian ejaan dan tanda baca yang menyimpang dari sistem ejaan dan tanda baca yang telah ditetapkan sebagaimana dinyatakan dalam buku Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Adapun sistem kaidah bahasa Indonesia yang digunakan sebagai standar acuan atau kriteria untuk menentukan suatu bentuk tuturan salah atau tidak adalah sistem kaidah bahasa baku.

Selasa, 11 Januari 2011

EKSISTENSI SASTRA TERHADAP PENGARUH GLOBALISASI DALAM KONTEKS PENDIDIKAN

Pendahuluan

Ketika kita membahas masalah perkembangan sastra Indonesia, bayangan kita seringkali tertuju pada angkatan-angkatan sastra Indonesia, seperti angkatan 1920-an atau disebut juga angkatan Balai Pustaka; angkatan 1933, yang disebut juga angkatan Pujangga Baru; angkatan 1945 yang disebut angkatan Pendobrak, dan angakatn 1966 atau disebut juga angkatan Orde Lama.

Angkatan 1920-an identik dengan novel Marah Rusli berjudul Siti Nurbaya; angkatan 1933 dengan tokoh sastrawannya Sutan Takdir Alisahbana (dalam bidang prosa) dan Amir Hamzah (bidang puisi). Angjatan 1945 dengan tokoh sentralnya, Chairil Anwar dengan puisi-puisinya yang sangat monumental berjudul Aku. Angkatan 1966 dengan tokoh centralnya Dr. Taufik Ismail dengan kumpulan puisinya berjudul Tirani dan Benteng.

Pembagian angkatan seperti itu dikemukakan oleh Hans Bague Jassin (H.B. Jassin), seorang ahli sastra Indonesia yang sering disebut-sebut sebagai Paus Sastra Indonesia. Tentu boleh-boleh saja kita setuju dengan pembagian seperti itu, apalagi memang kepakaran H.B. Jassin dalam mengapresiasi sastra Indonesia cukup mumpuni. Tetapi yang lebih penting kita ketahui adalah bahwa sastra Indonesia dari masa ke masa mengalami perkembangan.

Menarik untuk diperhatikan bahwa perkembangan sastra Indonesia berbanding lurus dengan perkembangan dunia pendidikan di Indonesia. Pendidikan di Indonesia, terutama pendidikan formal, dimulai tahun 1900-an, yaitu ketika penjajah Belanda membolehkan bangsa boemi poetra (sebutan untuk orang Indonesia oleh Belanda) memasuki pendidikan formal. Tentu saja pendidikan formal saat itu adalah milik penjajah Belanda. Pada saat sekarang ini sastra sebagai mata pelajaran di sekolah sebagai salah sub kajian dalam muatan pengajaran bahasa Indonesia. Hanya saja sastra sebagai salah disiplin ilmu yang berdiri sendiri tak bisa dipisahkan dengan bahasa Indonesia, karena mempunyai objek yang sama yaitu bahasa.

Terlepas dari itu eksistensi sastra sekarang ini, masih sangat dibutuhkan. Hal ini didasari betapa pentingnya nilai-nilai sastra dalam perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Mengkaji sastra berarti mengkaji nilai-nilai yang terdapat di dalamnya. Sastra merupakan representasi nilai-nilai sosial budaya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sastra (karya sastra) lahir dari proses dan potret kehidupan masa kini dan masa yang akan datang.

GLOBALISASI DAN PENGARUHNYA

Globalisasi berarti suatu proses yang terjadi pada masyarakat dunia. Globalisasi tersebut memungkinkan terbukanya berbagai batas baik fisik, psikologi, maupun kultural di antara warga dunia. Globalisasi sekaligus berarti meningkatnya pertukaran arus informasi, terbukanya wawasan-wawasan baru, dan tersedianya berbagai pilihan dengan skala prioritas untuk menentukan arah tindakan seseorang. Secara psikologis, individu dalam proses seperti ini akan mengalami perubahan-perubahan kognetif dan kebutuhan, yang pada gilirannya akan membawa pembentukan nilai-nilai mengenai hal-hal yang bermakna bagi hidupnya.

Hadirnya atau lebih tepatnya banjirnya peluang, kesempatan, dan pilihan untuk aktualisasi diri sering membuat manusia lupa akan hakikatnya yang sangat mendasar, yakni makhluk ciptaan Tuhan. Manusia terlena dalam banjir informasi sehingga sulit memahami perbedaan antara kebutuhan dan keserakahan, serta keinginan dan kebutuhan, yang pada gilirannya akan mendorong manusia itu untuk secara terus-menerus terlibat dalam kegiatan pemuasan pribadi. Keadaan seperti inilah yang membuat manusia berkembang menjadi makhluk egosentris dan instrumental.

Hempasan kemajuan ilmu, industri, teknologi, alat-alat komunikasi dan transportasi massa, telah mengubah nilai-nilai lama dan orang kini mencari nilai-nilai baru. Gejala-gejala hippie; teater-teater yang dengan cari terbuka mementaskan hubungan kelamin, soal cinta, hubungan keluarga, model-model “toples”; penulisan-penulisan lebih bebas dalam kesusasteraan; dan ungkapan-ungkapan lebih terbuka dalam film tentang hal-hal yang selama ini dianggap ‘tabu’ atau terlarang untuk dibicarakan di depan umum (masalah homoseksual, umpamanya) adalah bagian dari pergolakan dalam pemikiran dan jiwa menusia (Lubis, 1992:16-17).

Manusia cenderung memusatkan kepentingan dan keinginan pribadi sebagai titik sentral di dalam hidupnya. Sementara itu, ilmu pengetahuan dan teknologi modern membuka wahana-wahana baru dalam kehidupan manusia. Selain itu, produk teknologi yang baru memperkaya wawasan manusia. Kecanggihan dan efektivitas teknologi itu dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi manusia. Berada dalam situasi semacam itu, manusia sebagai objek akan mudah kehilangan swakendali (personal control). Oleh karena itu, tidak mengherankan bila para pakar ilmu sosial mengatakan bahwa dalam eraglobalisasi yang begitu cepat, manusia mudah hanyut oleh ulahnya sendiri.

Menurut Abdullah (2006:174) proses globalisasi telah melahirkan diferensiasi yang meluas, yang tampak dari proses pembentukan gaya hidup dan identitas. Gaya hidup terbentuk sejalan dengan munculnya budaya kota yang telah mengubah orientasi masyarakat dari kelompok yang berorientasi pada tata nilai umum ke tata nilai khusus dan dengan batas-batas simbolik baru. Abdullah (2006:183) juga menjelaskan bahwa salah satu agen dari pendefinisian ulang nilai-nilai adalah kaum muda, karena kaum muda selalu dikaitkan dengan kisah pembangkangan atau protes. Banyak kaum muda yang menunjukkan gaya hidup yang keluar dari nilai-nilai umum atau normatif dalam lingkungan sosial tertentu. Dalam hal inilah, konflik antara kaum muda dan tua telah menjadi pertentangan ideologis yang cukup tajam dalam keseluruhan aspek sejarah peradaban.

Kaum muda telah dimarjinalkan akibat proses perajutan jaring makna yang tidak melibatkan mereka, sehingga kaum muda mencari nilai baru yang sesuai dengan kondisi mereka.

Globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas wilayah. Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa- bangsa di seluruh dunia.

Sebagai proses, globalisasi berlangsung melalui dua dimensi dalam interaksi antar bangsa, yaitu dimensi ruang dan waktu. Ruang makin dipersempit dan waktu makin dipersingkat dalam interaksi dan komunikasi pada skala dunia. Globalisasi berlangsung di semua bidang kehidupan seperti bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan. Teknologi informasi dan komunikasi adalah faktor pendukung utama dalam globalisasi. Dewasa ini, perkembangan teknologi begitu cepat sehingga segala informasi dengan berbagai bentuk dan kepentingan dapat tersebar luas ke seluruh dunia.Oleh karena itu globalisasi tidak dapat kita hindari kehadirannya. Kehadiran globalisasi tentunya membawa pengaruh bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia. Pengaruh tersebut meliputi dua sisi yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif. Pengaruh positif sosial budaya yaitu dapat meniru pola berpikir yang baik seperti etos kerja yang tinggi dan disiplin dan Iptek dari bangsa lain yang sudah maju untuk meningkatkan kemajuan bangsa yang pada akhirnya memajukan bangsa serta akan mempertebal jati diri kita terhadap bangsa. Pengaruh negatif globalisasi yaitu masyarakat kita khususnya anak muda banyak yang lupa akan identitas diri sebagai bangsa Indonesia, karena gaya hidupnya cenderung meniru budaya barat yang oleh masyarakat dunia dianggap sebagai kiblat, Munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian sesama warga. Dengan adanya individualisme maka orang tidak akan peduli dengan kehidupan bangsa.

Arus globalisasi begitu cepat merasuk ke dalam masyarakat terutama di kalangan muda. Pengaruh globalisasi tersebut telah membuat banyak anak muda kita kehilangan kepribadian diri sebagai bangsa Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan gejala-gejala yang muncul dalam kehidupan sehari- hari anak muda sekarang. Dari cara berpakaian banyak remaja-remaja kita yang berdandan seperti selebritis yang cenderung ke budaya Barat. Padahal cara berpakaian tersebut jelas- jelas tidak sesuai dengan kebudayaan kita. Tak ketinggalan gaya rambut mereka dicat beraneka warna. Tidak banyak remaja yang mau melestarikan budaya bangsa dengan mengenakan pakaian yang sopan sesuai dengan kepribadian bangsa.

Teknologi internet merupakan teknologi yang memberikan informasi tanpa batas dan dapat diakses oleh siapa saja. Apa lagi bagi anak muda, internet sudah menjadi santapan mereka sehari- hari. Jika digunakan secara semestinya tentu akan memperoleh manfaat yang berguna. Dan sekarang ini, banyak pelajar dan mahasiswa yang menggunakan tidak semestinya. Misal untuk membuka situs-situs porno. Bukan hanya internet saja, ada lagi pegangan wajib mereka yaitu hand phone. Rasa sosial terhadap masyarakat menjadi tidak ada karena mereka lebih memilih sibuk dengan menggunakan handphone. Dilihat dari sikap, banyak anak muda yang tingkah lakunya tidak tahu sopan santun dan cenderung tidak peduli terhadap lingkungan. Karena globalisasi menganut kebebasan dan keterbukaan sehingga mereka bertindak sesuka hati mereka. Jika pengaruh-pengaruh di atas dibiarkan, mau apa jadinya generasi muda bangsa? Moral generasi bangsa menjadi rusak, timbul tindakan anarkhis antara golongan muda. Hubungannya dengan nilai jati diri akan berkurang karena tidak ada rasa cinta terhadap budaya bangsa sendiri dan rasa peduli terhadap masyarakat. Padahal generasi muda adalah penerus masa depan bangsa. Apa akibatnya jika penerus bangsa tidak memiliki jati diri?

Rabu, 29 Desember 2010

B A H A S A D A N S A S T R A: “Rumah Hujan” Sebuah Kajian Struktural.

B A H A S A D A N S A S T R A: “Rumah Hujan” Sebuah Kajian Struktural.

B A H A S A D A N S A S T R A: BAHAN AJAR MENYIMAK DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SEKOLAH DASAR

B A H A S A D A N S A S T R A: BAHAN AJAR MENYIMAK DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SEKOLAH DASAR

BAHAN AJAR MENYIMAK DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SEKOLAH DASAR


A. Pendahuluan

            Pengajaran bahasa Indonesia bertujuan memberikan pengetahuan kebahasaan agar murid mampu menguasai bahasa Indonesia sebaik-baiknya. Untuk mencapai tujuan ini maka, pada dasarnya ada empat keterampilan berbahasa yang harus dikuasai oleh murid secara baik dan benar sebagaimana tercantum dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), yaitu keterampilan menyimak (listening skill) keterampilan berbicara (speaking skill), keterampilan membaca (reading skill), dan keterampilan menulis (writing skill).
            Dari keempat keterampilan berbahasa (language skill) yang dikemukakan di atas, hanya keterampilan menyimak yang akan menjadi perhatian dalam makalah ini karena pada umumnya pengetahuan diperoleh melalui keterampilan menyimak. Setiap orang mendengar berita-berita melalui media massa maupun informasi melalui tatap muka, saat itu telah berlangsung pula kegiatan menyimak. Oleh karena itu, pengajaran menyimak mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses pembelajaran di sekolah dasar sebab kemampuan menyimak yang baik adalah kondisi awal untuk menghasilkan prestasi belajar yang baik.
            Berbagai pengalaman dalam melaksanakan pembelajaran bahasa Indonesia mengindikasikan bahwa kemampuan menyimak murid sekolah dasar belum optimal. Hal ini dapat diketahui dari hasil penelitian Muhaimin (2006) yang dicapai murid dalam proses-belajar mengajar di mana murid yang terlibat dalam kegiatan, yang mampu menyimak secara baik dan benar mempunyai persentase yang masih rendah. Indikasi ini menandakan masih rendahnya kemampuan menyimak murid tersebut terlihat pula hasil yang diperoleh dalam ulangan semester misalnya. Daya serap murid pada semua mata pelajaran dari seluruh murid dalam suatu kelas masih banyak nilai di bawah nilai standar 7,5. Ini berarti penguasaan murid terhadap mata pelajaran juga masih rendah.
            Setelah ditelusuri lebih jauh, hal tersebut di atas ternyata (salah satu) disebabkan oleh kurangnya kemampuan murid menyimak materi pelajaran. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ada kesenjangan antara hasil pengajaran menyimak dengan target ideal, yaitu tercapainya kemampuan optimal murid dalam menyimak.                

B.  Kemampuan Menyimak

1.   Pengertian Menyimak
            Orangtua sering memberikan nasihat kepada putra-putrinya yang berbunyi, kalau orangtua sedang bicara, jangan hanya sekedar mendengar saja, masuk dari telinga kiri keluar dari telinga kanan, tetapi simaklah, dengarkanlah baik-baik, masukkan ke dalam hati.
            Apabila kita memerhatikan cuplikan di atas, maka menyimak sangat dekat maknanya dengan mendengar dan mendengarkan. Namun, kalau kita pelajari lebih jauh, ketiga kata itu terdapat perbedaan pengertian. Mendengar didefinisikan sebagai suatu proses penerimaan bunyi yang datang dari luar tanpa banyak memerhatikan makna dan pesan bunyi itu. Sedangkan menyimak adalah proses mendengar dengan pemahaman dan perhatian terhadap makna dan pesan bunyi itu. Jadi, di dalam proses menyimak sudah termasuk mendengar, sebaliknya mendengar belum tentu menyimak. Di dalam bahasa Inggris terdapat istilah “listening comprehension” untuk menyimak dan “to hear” untuk mendengar.
            Sutari, (1998: 16) menyimpulkan bahwa:
Mendengar mempunyai makna, dapat menangkap suara (bunyi) dengan telinga, sadar atau tidak. Kalau ada bunyi, alat pendengaran kita akan menangkap bunyi tersebut’. Proses mendengar terjadi tanpa perencanaan, tetapi datang secara kebetulan, mungkin juga tidak.
            Menurut Poerwadarminta (1984: 941) “Menyimak adalah mendengar atau memerhatikan baik-baik apa yang diucapkan atau dibaca orang”.
            Menyimak merupakan proses pendengaran, mengenal dan menginterprestasikan lambang-lambang lisan, sedangkan mendengar adalah suatu proses penerimaan bunyi yang datang dari luar tanpa banyak memerhatikan makna itu. Dengan kata lain menurut Tarigan (1993: 19): “Dalam proses menyimak juga terdapat proses mendengar, tetapi tidak selalu terdapat proses menyimak di dalam suatu proses mendengar.”
            Kalau keterampilan menyimak dikaitkan dengan keterampilan berbahasa yang lain, seperti keterampilan membaca, maka kedua keterampilan berbahasa ini berhubungan erat, karena keduanya merupakan alat untuk menerima komunikasi. Perbedaannya terletak dalam hal jenis komunikasi. Menyimak berhubungan dengan komunikasi lisan, sedangkan membaca berhubungan dengan komunikasi tulis. Dalam hal tujuan, keduanya mengandung persamaan, yaitu memperoleh informasi, menangkap isi, memahami makna komunikasi.
            Menurut Tarigan (1993: 20) mengemukakan pengertian menyimak sebagai berikut:
Menyimak adalah suatu proses kegiatan mendengarkan lambang-lambang lisan dengan penuh perhatian, pemahaman, argumentasi, serta interprestasi untuk memperoleh informasi, menangkap serta, memahami makna komunikasi yang disampaikan si pembicara melalui ucapan atau bahasa lisan.

            Dari uraian di atas, maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa menyimak adalah mendengarkan serta memerhatikan baik-baik apa yang dibaca atau diucapkan oleh si pembicara serta menangkap dan memahami isi dan makna komunikasi yang tersirat di dalamnya. Dalam hal mendengarkan atau memerhatikan orang membaca atau orang yang bercakap, penyimak menerima keterangan melalui rangkaian bunyi bahasa dengan susunan nada dan tekanan suara orang yang membaca atau bercakap. Jika pembicara dan pembaca dapat melihat, maka penyimak akan dapat melihat gerak muka dan gerak tangan pembicara seperti, bibir, mimik, dan sebagainya. Jika penyimak menyimak lewat media bantu seperti tape recorder, maka si penyimak hanya dapat menyimak bunyi bahasa yang disampaikan oleh si pembicara.
            Dengan demikian, mendengar, mendengarkan, dan menyimak memiliki makna yang berbeda. Dalam mendengar, yang terlibat hanya fisik dan tidak ada unsur kesengajaan. Dalam menyimak, unsur mental terlibat lebih tinggi daripada mendengarkan.
2.   Fase-fase proses Kognitif dalam Menyimak
            Telah dikemukakan di atas, bahwa dalam menyimak kegiatan mental lebih aktif daripada mendengar. Dalam menyimak, terdapat proses mental mulai dari proses mengidentifikasikan bunyi, proses menyusun pemahaman dan penafsiran, proses penggunaan hasil pemahaman sampai penafsiran.
            Proses mengidentifikasian bunyi merupakan suatu proses penerimaan bunyi yang datang  dari luar tanpa banyak memerhatikan makna bunyi tersebut. Dalam proses ini barulah pada fase-fase mendengar.
            Proses penyusunan pemahaman dan penafsiran menunjuk kepada cara pendengar menyusun suatu penafsiran sebuah kalimat dari si pembicara, mulai dari identifikasi bentuk-bentuk bunyi sampai kepada pembentukan sebuah penafsiran yang sama dengan yang dimaksudkan oleh si pembicara tadi.
            Proses penggunaan menunjuk kepada upaya pendengar untuk menggunakan hasil penafsiran untuk tujuan selanjutnya, misalnya, mengakomodasi informasi, menjawab pertanyaan, menurut perintah, menanamkan harapan.
            Selain proses tersebut di atas, Sutari (1998: 20)  mengemukakan bahwa:
Pada dasarnya menyimak itu merupakan suatu proses kejiwaan mulai dari proses pengenalan bunyi yang didengarnya dengan penuh perhatian melalui alat pendengar. Kemudian, menyusun penafsiran yang penuh dengan pergaulan aktif antara terka, perkiraan, idealisasi, dibarengi dengan interprestasi dan apresiasi untuk menangkap informasi, ide, dan pesan. Selanjutnya, diteruskan dengan proses penyimpanan dan menghubungkan hasil penafsiran untuk memperoleh pemahaman komunikasi yang diantarkan lewat bahasa lisan.
            Selanjutnya Achsin dan Djirong (1985: 17) menambahkan: “Proses menyimpan atau mengingat sebagai bagian dari suatu proses menyimak.”  Pada uraian terdahulu telah dijelaskan bahwa menyimak bukan hanya mendengarkan. Mendengar hanya taraf penerimaan bunyi tanpa memerhatikan makna yang terkandung dalam bunyi itu. Dalam kegiatan menyimak setelah proses penerimaan bunyi terjadi aktivitas mental dalam berbagai tingkat yaitu proses pembentukan pemahaman, proses pemanfaatan, dan proses penyimpanan dalam ingatan jangka panjang. Pesan atau informasi yang tersimpan  dalam ingatan  tersebut pada saat diperlukan dapat muncul kembali dipermukaan dalam bentuk kegiatan berbahasa yang bersifat produktif.
            Kegiatan menyimak merupakan kegiatan berbahasa yang cukup kompleks karena melibatkan berbagai proses menyimak dalam saat yang sama. Pada saat menyimak mendengar bunyi berbahasa, pada saat itu pula mentalnya aktif bekerja mencoba memahami, menafsirkan apa yang disampaikan pembicara,  dan pada saat itu ia harus menerima renspons. Pada dasarnya respons yang diberikan itu akan terjadi setelah terjadinya integrasi antara pesan yang didengar dengan latar belakang pengetahuan dan pengalaman penyimak. Respons itu bisa sama dengan yang dikehendaki pembicara dan bisa pula tidak sama.
            Mengingat proses menyimak itu ternyata muncul dalam waktu yang hampir bersamaan, maka dapat dipastikan bahwa urutan-urutan proses itu bekerja dengan cepat. Kalau perjalanan proses itu mendapat gangguan di tengah jalan, dengan sendirinya kegiatan menyimak tidak berlangsung sempurna, dan pemahamanpun tidak tercapai. Ini berarti penyimak tidak dapat melakukan respons. Terlambat berarti gagal menyimak. Mungkin hanya sampai tingkat mendengar atau mendengarakan.
            Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hakikat menyimak itu adalah suatu rentetan proses, mulai dari proses mengidentifikasi bunyi, menyusun penafsiran, memanfaatkan hasil penafsiran, dan proses penyimpanan, serta proses menghubung-hubungkan hasil penafsiran itu dengan keseluruhan pengetahuan dan pengalaman.

3.   Tujuan Pembelajaran Menyimak
            Berdasarkan uraian terdahulu bahwa menyimak adalah suatu penerimaan pesan, gagasan atau pikiran seseorang. Pesan itu harus dipahami dengan jelas oleh penyimak. Sebagai bukti ia memahami pesan itu, ia harus bereaksi memberi tanggapan atau respons. Jadi, kegiatan menyimak merupakan kegiatan disengaja, direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu. Kesadaran untuk mencapai tujuan itu menimbulkan aktivitas berfikir dalam menyimak. Aktivitas menyimak yang tidak tepat akan menimbulkan tujuan menyimak tidak tercapai.
            Proses menyimak ada dua aspek tujuan yang perlu diperhatikan yaitu; pertama adanya pemahaman dan tanggapan penyimak terhadap pesan pembicara. Kedua pemahaman dan tanggapan penyimak terhadap pesan itu sesuai dengan kehendak pembicara.
            Berdasarkan dua aspek di atas kalau diperinci lebih jauh maka tujuan menyimak dapat disusun (Sutaji, 1998: 44) sebagai berikut:
a.       mendapat fakta
b.      menganalisis fakta
c.       mengevaluasi fakta
d.      mendapatkan inspirasi
e.       mendapat hiburan
f.       memperbaiki kemampuan berbicara
4.   Jenis-jenis Menyimak
            Adapun jenis-jenis menyimak dalam pembelajaran Bahasa Indonesia (Sutari, 1998: 47) adalah sebagai berikut:
            a.   Menyimak ekstensif (extensive listening)
            b.   Menyimak intensif (intensive listening)
            c.   Menyimak sosial (social listening)
                  d.   Menyimak sekunder (secondary listening)
            e.   Menyimak estetik (aesthetic listening)
            f.    Menyimak kritis (critical listening)
            g.   Menyimak konsentratif (consentrative listening)
            f.    Menyimak kreatif (creative listening)
            g.   Menyimak introgatif (introgative litening)
            h.   Menyimak penyelidikan (exploratory listening)
            i.    Menyimak pasif (passive listening)
            j.    Menyimak selektif (selective listening)
            Untuk lebih jelasnya mengenai jenis-jenis menyimak sebagai dikemukakan di atas, dapat diuraikan sebagai berikut:     
a.   Menyimak ekstensif (extensive listening)
            Menyimak ekstensif adalah sejenis kegiatan menyimak yang berhubungan dengan hal-hal lebih umum dan lebih bebas terhadap sesuatu bahasa, tidak perlu di bawah bimbingan langsung seorang guru.
            Penggunaan yang paling mendasar ialah untuk menyajikan kembali bahan yang telah diketahui dalam suatu lingkungan baru dengan cara yang baru. Sealain itu, dapat pula murid dibiarkan mendengar butir-butir kosakata dan struktur-struktur yang baru bagi murid yang terdapat dalam arus bahasa yang ada dalam kapasitasnya untuk menanganinya.
            Pada umunya, sumber yang paling baik untuk menyimak ekstensif adalah rekaman yang dibuat guru sendiri, misalnya rekaman yang bersumber dari siaran radio, televisi, dan sebagainya.
b.   Menyimak intensif (intensive listening)
            Menyimak intensif adalah menyimak yang diarahkan pada suatu yang jauh lebih diawasi, dikontrol, terhadap suatu hal tertentu. Dalam hal ini harus diadakan suatu pembagian penting yaitu diarahkan pada butir-butir bahasa sebagai bagian dari program pengajaran bahasa atau pada pemahaman serta pengertian umum. Jelas bahwa dalam kasus yang kedua ini maka bahasa secara umum sudah diketahui oleh para murid.
c.   Menyimak sosial (social listening)
            Menyimak sosial atau menyimak konversasional (conversational listening) ataupun menyimak sopan (courtens listening) biasanya berlangsung dalam situasi-situasi sosial tempat orang mengobrol mengenai hal-hal yang mrenarik perhatian semua orang dan saling mendengarkan satu sama lain untuk membuat respons-repons yang pantas, mengikuti detail-detail yang menarik, dan memerhatikan perhatian yang wajar terhadap apa-apa yang dikemukakan, dikatakan oleh seorang rekan.
            Dengan perkataan lain dapat dikemukakan bahwa menyimak sosial paling sedikit mencakup dua hal, yaitu perkataan menyimak secara sopan santun dengan penuh perhatian percakapan atau konversasi dalam situasi-situasi sosial dengan suatu maksud. Dan kedua mengerti serta memahami peranan-peranan pembicara dan menyimak dalam proses komunikasi tersebut.
d.   Menyimak sekunder (secondary listening)
                  Menyimak sekunder adalah sejenis kegiatan menyimak secara kebetulan dan secara ekstensif (casual listening dan extensive listening) misalnya, menyimak pada musik yang mengirimi tarian-tarian rakyat terdengar secara sayup-sayup sementara kita menulis surat pada teman di rumah atau menikmati musik sementara ikut berpartisipasi dalam kegiatan tertentu di sekolah seperti menulis, pekerjaan tangan dengan tanah liat, membuat sketsa dan latihan menulis dengan tulisan tangan.
e.   Menyimak estetik (aesthetic listening)
            Menyimak estetik yang juga disebut menyimak apresiatif (apreciational listening) adalah fase terakhir dari kegiatan menyimak secara kebetulan dan termasuk ke dalam menyimak ekstensif, mencakup dua hal yaitu pertama menyimak musik, puisi, membaca bersama, atau drama yang terdengar pada  radio atau rekaman-rekaman. Kedua menikmati cerita-cerita, puisi, teka-teki, dan lakon-lakon yang diceritakan oleh guru atau murid-murid.
f.    Menyimak kritis (critical listening)
                  Menyimak kritis adalah sejenis kegiatan menyimak yang di dalamnya sudah terlihat kurangnya atau tiadanya keaslian ataupun kehadiran prasangka serta ketidaktelitian yang akan diamati. Murid-murid perlu banyak belajar mendengarkan, menyimak secara kritis untuk memperoleh kebenaran.
g.   Menyimak konsentratif (consentrative listening)
                  Menyimak konsentratif sering juga disebut study-type listening atau menyimak yang merupakan jenis telaah. Kegiatan-kegiatan tercakup dalam menyimak konsentratif antara lain: menyimak untuk mengikuti petunjuk-petunjuk serta menyimak urutan-urutan ide, fakta-fakta penting, dan sebab akibat.
f.    Menyimak kreatif (Creative listening)
                  Menyimak kreatif adalah jenis menyimak yang mengakibatkan dalam pembentukan atau rekonstruksi seorang anak secara imaginatif kesenangan-kesenangan akan bunyi, visual atau penglihatan, gerakan, serta perasaan-perasaan kinestetik yang disarankan oleh apa-apa didengarnya.
g.   Menyimak introgatif (introgative litening)
            Menyimak introgatif adalah sejenis menyimak intensif yang menuntut lebih banyak konsentrasi dan seleksi, pemusatan perhatian dan pemilihan, karena sipenyimak harus mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Dalam kegiatan menyimak interogatif ini si penyimak mempersempit serta mengarahkan perhatiannya pada pemerolehan informasi atau mengenai jalur khusus.

h.   Menyimak penyelidikan (exploratory listening)
            Menyimak penyelidikan adalah sejenis menyimak intensif dengan maksud dan yang agak lebih singkat. Dalam kegiatan menyimak seperti ini si penyimak menyiagakan perhatiannya untuk menemukan hal-hal baru yang menarik perhatian dan informasi tambahan mengenai suatu topik atau suatu pergunjingan yang menarik.
i.    Menyimak pasif (passive listening)
            Menyimak pasif adalah penyerapan suatu bahasa tanpa upaya sadar yang biasa menandai upaya-upaya kita saat belajar dengan teliti, belajar tergesa-gesa, menghapal luar kepala, berlatih serta menguasai sesuatu bahasa. Salah satu contoh menyimak pasif adalah penduduk pribumi yang tidak bersekolah lancar berbahasa asing. Hal ini dimungkinkan karena mereka hidup langsung di daerah bahasa tersebut beberapa lama dan memberikan kesempatan yang cukup bagi otak mereka menyimak bahasa itu.
j.    Menyimak selektif (selective listening)
                  Menyimak selektif berhubungan erat dengan menyimak pasif. Betapapun efektifnya menyimak pasif itu tetapi biasanya tidak dianggap sebagai kegiatan yang memuaskan. Oleh karena itu menyimak sangat dibutuhkan. Namun demikian, menyimak selektif hendaknya tidak menggantikan menyimak pasif, tetapi justru melengkapinya. Penyimak harus memanfaatkan kedua teknik tersebut. Dengan demikian, berarti mengimbangi isolasi kultural kita dari masyarakat bahasa asing itu dan tendensi kita untuk menginterpretasikan

C.  Faktor-faktor yang Memengaruhi Kemampuan Murid Menyimak di Sekolah Dasar
            Menurut Tarigan (1993: 48) bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi keefektifan kemampuan menyimak antara lain: “(1) faktor keterbatasan sarana, (2) faktor kebahasaan, (3) faktor biologis, (4) faktor lingkungan, (5) faktor guru, (6) faktor metodologi,  (7) faktor kurikulum, dan (8) faktor-faktor tambahan.”
1.   Keterbatasan Sarana
                  Keterbatasan sarana yang dimaksudkan di sini adalah belum tersedianya buku-buku dan alat-alat lainnya yang memadai, kondisi ruangan belajar yang belum kondusif turut pula mempengaruhi pengajaran menyimak dan jumlah murid yang terlalu banyak di kelas serta masih kurangnya sekolah yang memiliki laboratorium bahasa.
2.   Kebahasaan
                  Kendala utama di dalam pengajaran menyimak adalah faktor yang bersifat kebahasaan yaitu mulai dari mengenal bunyi di tingkat fonologis, kata, kalimat, dan ujaran wacana sampai kepada menangkap, menyimpan isi ujaran serta kemampuan menyimpan hasil simakan. Di samping faktor-faktor ini masih ada faktor lain misalnya tanda baca serta tanda-tanda suprasegmental antara lain; tekanan, aksen, jeda, dan intonasi yang juga merupakan masalah bagi murid, terutama di dalam mempelajari bahasa asing.
3.   Biologis
            Murid yang pendengarannya kurang baik, karena mungkin ada organ-organ pendengarannya tidak berfungsi dengan baik, sudah pasti akan mengalami kesulitan dalam menyimak.
                  Dengan demikian dalam pengelolaan kelas seorang guru harus jeli memerhatikan keadaan muridnya. Murid yang kurang tajam pendengarannya, sebaiknya didudukkan di bangku paling depan atau murid yang kurang baik pendengarannya di sebelah kiri jangan di tempatkan paling kanan ruangan kelas, demikian pula sebaliknya.
4.   Lingkungan
            Lingkungan yang dimaksud di sini adalah di mana sekolah itu berada. Kalau lingkungan sekolah atau kelas itu penuh dengan suara kegaduhan, kebisingan, kehiruh-pikukan bunyi kendaraan lalu lintas di sekelilingnya, maka sudah pasti hasilnya tidak akan sebaik apabila pengajaran menyimak itu dilaksanakan di dalam suasana kondusif atau lingkungan yang tenang.
5.   Guru
                  Guru yang penampilannya simpatik, terampil menyajikan materi pengajaran dan menguasai bahan pengajaran akan lebih berhasil di dalam mengajar menyimak daripada guru yang mempunyai sifat-sifat yang berlawanan dari sifat-sifat yang dikemukakan di atas. Jelasnya kemampuan professional berupa penguasaan bidang pengajaran yang disajikan, kemampuan personal berupa sikap mental atau akhlak pribadi yang terpuji, misalnya suka membantu murid, membimbing murid, memuji keberhasilan murid, menghargai hasil karya murid, bersifat bersahabat dengan murid serta mempunyai kemampuan sosial berupa pendekatan secara kemasyarakatan baik kepada murid-murid, maupun terhadap guru-guru lain dan juga orangtua murid. Kesemuanya ini akan turut menentukan keberhasilan pengajaran menyimak khususnya dan pengajaran-pengajaran lainnya di sekolah.
6.   Metodologi yang Digunakan
            Guru yang kurang menguasai sesuatu metode yang digunakannya pasti kurang berhasil di dalam mengajar, demikian pula guru yang hanya mengetahui dan menggunakan hanya satu metode, sudah barang tentu hasilnya akan kurang dibandingkan dengan guru yang menguasai dan menggunakan banyak metode mengajar menyimak yang lebih baik.
7.   Kurikulum
                  Kurikulum yang disusun dengan baik dan jelas, akan sangat membantu guru-guru dalam mengajar menyimak. Materi menyimak di dalam kurikulum yang tidak terlalu padat atau berbelit-belit dan diorganisasikan dengan baik akan memudahkan guru mengajar menyimak. Begitu pula tingkat kesulitan bahan pengajaran menyimak dalam kurikulum hendaknya disesuaikan dengan perkembangan murid, baik perkembangan kebahasaan maupun perkembangan kematangan psikologis. Bahan pengajaran yang terlalu sukar dapat memprustasikan murid dan sebaliknya bahan pengajaran yang terlalu mudah dapat membosankan murid. Tingkat kesukaran materi penyajian sebaiknya berada pada tingkat yang biasa, disebut teacheable (tingkat dapat diajarkan), artinya tingkat kesukaran dan kemudahannya sesuai dengan perkembangan kebahasaan dan psikologis murid. Dengan demikian pengajaran menyimak akan berhasil dengan baik.
8.   Faktor-faktor tambahan
            Ada beberapa faktor yang mempengaruhi variabel-variabel yang dapat berpengaruh terhadap pemahaman dari hasil pendengaran (listening comprehension). faktor-faktor tersebut (Sutari, 1998: 68) adalah sebagai berikut:
            a.   Faktor kurang seringnya diadakan penelitian-penelitian yang terkontrol secara ilmiah;
            b.   Tak banyak mengenal validitas dan reliabilitas tes mendengar yang diterapkan dalam penelitian;
            c.   Karena sebagian besar penelitian belum terkoordinir dengan baik.
            Menurut pendapat di atas bahwa faktor lain yang bisa mempengaruhi upaya guru meningkatkan kemampuan murid menyimak di sekolah dasar, yaitu faktor kurang seringnya diadakan penelitian-penelitian yang terkontrol secara ilmiah; tak banyak mengenal validitas dan reliabilitas tes mendengar yang diterapkan dalam penelitian; dan karena sebagian besar penelitian belum terkoordinir dengan baik.

D.  Upaya Meningkatkan Kemampuan Murid Menyimak dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar
            Untuk meningkatkan kemampuan menyimak pada murid sekolah sekolah dasar, ada beberapa teknik yang perlu ditempuh (Tarigan, 1993: 61) yaitu:
            1.   Teknik loci (Locy System)
            2.   Teknik penggabungan
            3.   Teknik Fonetik
            4.   Teknik pengelompokan kategorial
            5.   Teknik Pemenggalan
            6.   Konsentrasi
            Untuk lebih jelasnya  mengenai teknik-teknik tersebut, maka dapat dilihat pada uraian sebagai berikut:
1.   Teknik loci (Loci System)
            Salah satu teknik mengingat yang paling tradisional adalah teknik loci. Teknik ini pada dasarnya memberikan cara mengingat pesan dengan memvisualisasikan dalam benak kita materi yang harus diingat.Teknik ini dilakukan dengan, mempelajari urutan informasi dengan informasi lain yang serupa, dengan mempelajari lokasi-lokasi yang ada disekitar kita dan mencocokan hal-hal yang akan diingat dengan lokasi-lokasi tersebut.
2.   Teknik penggabungan
            Teknik yang ke dua adalah teknik penggabungan (link system), teknik ini memberikan gagasan tentang cara mengingat,yaitu dengan menghubungkan (menggabungkan) pesan pertama yang akan diingat dengan pesan ke dua, ke tiga, dan seterusnya. Pesan berantai itu dihubungkan pula dengan imaji-imaji tertentu yang perlu anda visualkan secara jelas dalam pikiran. Untuk mencega terjadinya kelupaan pada pesan pertama (pesan yang akan dimata-rantaikan), anda pun perlu menghubungkan pesan pertama tersebut dengan lokasi yang akan mengingatkan anda
pada item tadi.
3.   Teknik Fonetik
            Sistem lain yang lebih kompleks tetapi cukup efektif adalah  teknik fonetik atau phonetic system. Teknik ini melibatkan penggabungan angka-angka, bunyi-bunyi fonetis, dan kata-kata yang mewakili bilangan-bilangan tadi serta bunyi-bunyi, dengan pesan yang akan diingat.
4.   Teknik pengelompokan kategorial
            Pengelompokan kategorial, yakni suatu teknik pengorganisasian yang dapat digunakan secara sistemtis untuk memodifikasikan informasi baru dengan cara memberikan struktur baru pada informasi-informasi tadi.
5.   Teknik Pemenggalan
            Teknik ini memberikan cara mengingat pesan dengan cara memenggal pesan-pesan yang panjang.contohnya, Apabilah mendengar orang menyebutkan nomor telepon, misalnya 6651814, maka agar mudah mengingatnya kita memenggal, kelompok angka itu menjadi 665-18-14, atau 66-51-814 dan sebagainya.
6.   Konsentrasi
            Berkonsentrasi pada pesan yang dikirimkan oleh pembicara merupakan kesulitan utama yang dihadapi oleh pendengar. Karena seringnya berkomonikasi dalam rentang waktu yang terlalu lama, sehingga keadaan seperti ini menuntutnya untuk membagi-bagi energi untuk memperhatikan antara berbagai ragam rangsang dan tidak merespon pada satu rangsang saja.
            Pendengar akan lebih bertanggung jawab dan meningkatkan konsentrasinya dengan melatih perilaku (Sutari, 1998: 66)  sebagai berikut:
            a.   Jujur terhadap penutur apabila ia mempunyai kesulitan dalam menangkap pesan yang disampaikan;
            b.   Membuat pertanyaan-pertanyaan pribadi agar lebih memperhatikan;
            c.   Melatih kebiasaan menuliskan pendapat orang lain pada sat penutur terlibat pembicaraan dengan pendengar lain
            d.   Mendengar dengan tujuan untuk  berbagai pesan antara satu penutur dengan penutur lain .
            e.   Memperaktekkan/ melatih kemampuan pendengar.
            Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa untuk meningkatkan konsentrasi, maka seseorang perlu mengembangkan sikap dan perilaku jujur terhadap penutur apabila ia mempunyai kesulitan dalam menangkap pesan yang disampaikan; membuat pertanyaan-pertanyaan pribadi agar lebih memperhatikan; melatih kebiasaan menuliskan pendapat orang lain pada sat penutur terlibat pembicaraan dengan pendengar lain; mendengar dengan tujuan untuk  berbagai pesan antara satu penutur dengan penutur lain;       dan memperaktekkan/ melatih kemampuan pendengar.
E. Penutup
            Faktor-faktor yang memengaruhi kemampuan menyimak murid sekolah dasar adalah: a) faktor keterbatasan sarana, b) faktor kebahasaan, c) faktor biologis, d) faktor lingkungan, e) faktor guru, f) faktor metodologi,  g) faktor kurikulum, dan h) faktor-faktor tambahan. Upaya meningkatkan kemampuan menyimak pada murid sekolah dasar adalah menempuh: a) Teknik loci (Locy System), b) teknik penggabungan, c) teknik fonetik, d) teknik pengelompokan kategorial, e) teknik Pemenggalan, dan f) konsentrasi. Meningkatkan konsentrasi ditempuh dengan melatih perilaku: (a) Jujur terhadap penutur; (b) membuat pertanyaan-pertanyaan pribadi agar lebih memperhatikan; (c) melatih kebiasaan menuliskan pendapat orang lain pada saat penutur terlibat pembicaraan dengan pendengar lain; (d) mendengar dengan tujuan untuk  berbagai pesan antara satu penutur dengan penutur lain; dan (e) memperaktekkan/melatih kemampuan pendengar.

DAFTAR PUSTAKA

Achsin, Amir. & Djirong, Basang. 1985. Pengajaran Menyimak. Ujung Pandang: FPBS IKIP Ujung Pandang.
Arikunto, Suharsimi, 1995. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Husain.A.R. 1993. Bahasa Indonesia Baku. Suatu Panduan Berbahasa Indonesia dengan Baik dan Benar. Solo: CV. Aneka.
Poerwadarminta, W.J.S. 1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Sutari, 1998. Menyimak. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Tarigan, Henry Guntur. 1993. Menyimak Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

Kamis, 23 Desember 2010

“Rumah Hujan” Sebuah Kajian Struktural.


Hasil Analisis
Analisis struktur cerpen dilakukan dengan cara menjelaskan struktur naratif cerpen yang meliputi: tema cerita, penokohan, alur cerita, latar (setting), sudut penceritaan ,dan gaya cerita.
  1. Tema cerita
Tema cerita ini adalah tentang kerinduan seorang anak yang bernama Narpati yang ditinggalkan ayah kemudian ibunya untuk mencari nafkah karena kesulitan hidup pada musim kemarau yang begitu panjang. Pertama, ayahnya pergi untuk mencari kayu untuk mebel dan kursi pesanan. Setelah lima bulan ayahnya belum kembali sehingga ibunya menyusul. Sampai Narpati berusia 9 tahun, ayahnya belum juga kembali. Selama itu ia diasuh oleh Budenya yang bernama Bude Kanti. Sebelumnya Narpati memiliki banyak teman yang sering datang kerumah Budenya yang dia beri nama rumah hujan. Tetapi sejak Wulan bermimpi aneh dibawah pohon dekat rumah hujan ia dan teman temannya dilarang bermain dengan Narpati karena menganggap Bude Narpati menganut ilmu hitam sehingga terpaksa Narpati dan Bude meninggalkan rumah tersebut dan masyarakat datang membakarnya.
  1. Penokohan
Tokoh Narpati, Ibu dan Bude adalah tokoh sentral dalam cerpen ini. Hal itu disebabkan persoalan yang berkaitan dengan ketiga tokoh  dalam cerpen tersebut sangat menonjol. Tokoh utama (Narpati) dalam cerpen ini digambarkan sebagai seorang anak yang berusia 5 tahun. Ia begitu rindu dengan ayahnya dan juga ibunya yang pergi menyusul mencari ayahnya namun tak pernah kembali. Selanjutnya ia tinggal bersama Bude, dirumah Budenya ia punya banyak teman. Namun ia mesti kehilangan teman temannya sejak mimpi aneh Wulan yang akhirnya oleh orang tuanya dilarang bermain dengan Narpati. Hingga Narpati meninggalkan rumah hujan karena terpaksa, ia pun tak pernah mengerti, yang ia tahu hanyalah kerinduan untuk bertemu dengan ayah ibunya.    
Tokoh utama yang lain adalah Ibu yang mempunyai sifat penyayang dan bertanggungjawab kepada anaknya Narpati. Hal itu ditunjukkan ketika dia mengurusi anaknya di pagi hari dengan membilas mukanya. Ia juga tak tega melihat Narpati terus menerus merindukan ayahnya hingga ia memutuskan untuk pergi mencarinya meski sampai akhir cerita ia tak pernah kembali.
Tokoh utama yang lain juga adalah Bude yang memiliki sifat penyayang kepada Narpati dan juga ia memiliki sifat misterius serta memiliki hubunga dengan alam lain. Hal ini terlihat ketika suatu malam Narpati terbangun pada suatu malam dan melihat Budenya dengan rambut terurai dihalaman rumah sambil komat kamit mengucapkan sesuatu kemudian muncul sinar didepannya.
Tokoh pendukung Ayah mempunyai sifat penyayang dan tanggungjawab kepada keluarganya sehingga ia rela pergi jauh untuk mencari nafkah meski ia tak pernah kembali. Tokoh pendukung lain adalah lima anak kecil, rusdi dan wulan digambarkan sebagai teman teman bermain Narpati meski pada akhirnya harus berpisah karena mimpi aneh yang dialami Wulan.
Tokoh pendukung lain dalam cerita ini adalah masyarakat desa yang digambarkan mengambil main hakim sendiri terhadap Bude Kanti berdasarkan mimpi aneh yang dialami Wulan dan munculnya dua sinar di rumah hujan. Akhirnya mereka membakar rumah tersebut, namun Bude Kanti dan Narpati selamat karena mereka lebih dulu meninggalkan rumah tersebut dan membawa barang barang berharga mereka.
  1. Alur cerita
Alur yang digunakan untuk mengisahkan Cerpen ”Rumah Hujan” ini adalah alur lurus. Cerita dimulai ketika Narpati berusia 5 tahun sejak ditinggalkan ayahnya, lantas ibunya juga menyusul mencari ayahnya sehingga ia tinggal bersama budenya. Hingga berumur 9 tahun ayah dan ibunya tak pernah kembali sampai ia dan budenya terusir dari kampung.
  1. Latar cerita
Secara fisik cerpen ini terjadi di sebuah rumah yang diberi nama rumah hujan, dibawah pohon besar dihalaman rumah,latar perjalanan dan bukit. Latar rumah tergambar ketika ibu membangunkan Narpati dipagi hari. Latar dibawah pohon besar ditunjukkan ketika Wulan bermimpi aneh dibawah pohon itu. Latar perjalanan dan bukit digambarkan ketika Narpati dan Bude sudah meninggalkan rumahnyadan dibukit itu ia menoleh ke arah rumah mereka yang dibakar oleh warga.
Secara sosial cerpen ini terjadi pada sebuah keluarga disebuh desa yang tengah dilanda kemarau berkepanjangan. Cerita selanjutnya kemudian berkisah tentang bude yang dianggap menganut ilmu hitam sehingga rumahnya dibakar dan terusir dari kampungnya namun tokoh utama dalam cerpen ini pun tak mengerti dengan kejadian ini karena yang dipikirkan hanyalah ayah dan ibunya yang selalu dirindukannya.
  1. Sudut cerita
Melalui sudut orang kedua yang bernama Narpati, pengarang menyampaikan kisahnya. Pengambilan sudut orang pertama ini menimbulkan efek empati pada pembaca untuk terlibat dalam cerita. Hal ini dimungkinkan karena dengan sudut penceritaan seolah olah pengarang sedang menceritakan pengalaman yang dialaminya kepada pembaca. Menurut Soemardjo dan Saini (dalam Sunarto: 2000:331) , sudut penceritaan demikian cocok untuk cerita mengenai problematika kejiwaan seseorang.
Melalui tokoh aku, pengarang hendak menunjukkan arti kehadiran orang tua bagi seorang anak. Meski apapun yang terjadi dalam kehidupannya, yang ia ingat hanyalah kedua orangtuanya dan mengabaikan konflik konflik sosial dalam lingkungannya.
  1. Gaya cerita.
Upaya untuk menyampaikan pesan bahwa kebersamaan orang tua dalam kehidupan seorang anak sangatlah berarti dijadikan pengarang sebagai kekuatan dalam membangun cerpen tersebut. Dengan gaya bercerita yang sarat dengan penerjemahan makna, cerpen ini mengajak kita untuk berfikir mengenai kehidupan dan kondisi psikologi seorang anak. Jelasnya cerpen ini menunjukkan kepada para orangtua agar jangan pernah meninggalkan anaknya karena hal itu sangat berat bagi seorang anak apalagi yang masih berusia dibawah 10 tahun.

wacana sebagai teks dan konteks


1.  Pengertian teks
Sebuah teks adalah terdiri dari unit-unit bahasa dalam penggunaannya. Unit-unit bahasa tersebut adalah merupakan unit gramatikal seperti klausa atau kalimat namun tidak pula didefenisikan berdasarkan ukuran panjang kalimatnya. Teks terkadang pula digambarkan sebagai sejenis kalimat yang super yaitu sebuah unit gramatikal yang lebih panjang daripada sebuah kalimat yang saling berhubungan satu sama lain. Jadi sebuah teks terdiri dari beberapa kalimat sehingga hal itulah yang membedakannya dengan pengertian kalimat tunggal. Selain itu sebuah teks dianggap sebagai unit semantik yaitu unit bahasa yang berhubungan dengan bentuk maknanya. Dengan demikian teks itu dalam realisasinya berhubungan dengan klausa yaitu satuan bahasa yang terdiri atas subyek dan predikat dan apabila diberi intonasi final akan menjadi sebuah kalimat.  
Teks merujuk pada wujud kongkret penggunaan bahasa berupa untaian kalimat yang mengemban proposisi-proposisi tertentu sebagai suatu keutuhan. Menurut Fowler (Sugira Wahid dan Juanda, 2006: 77) wacana tentu saja berbeda dengan teks, sebab wacana merujuk pada kompleksitas aspek yang terbentuk oleh interaksi antara aspek kebahasaan sebagaimana terwujud dalam teks dengan aspek luar bahasa. Interaksi tersebut selain menentukan karakteristik bentuk komunikasi ataupun penggunaan bahasanya juga berfungsi dalam menentukan makna suatu teks. Unsur yang dimaksudkan adalah diluar bahasa tersebut merujuk kepada ppemeran/partisipasn atau peserta komunikasi, tujuan, dan konteks dalam perpesktif kajian linguistik secara kritis, konteks tersebutmeliputi konteks ujaran, kebudayaan, dan konteks referensi.
Ada enam konsep utama teks dalam pandangan Vandijk (Sugira Wahid dan Juanda, 2006: 77), yaitu:
1.       Suatu teks adalah suatu entitas yang dirangkum dalam suatu topik
2.       Beberapa teks merupakan suatu wilayah pengertian yang secara hirarkis diorganisasikan mulai dari tingkat permukaan sampai ke dalam dan sampai pada topik yang lebih umum.
3.       Tingkat luaran (permukaan) suatu teks terdiri atas kata-kata (atau simbol-simbol) yang sebenarnya merupakan rangkaian ungkapan.
4.       Tingkat permukaan secara berturut-turut dapat dianalisis secara logis guna menunjukkan struktur logis atau hubungan linear atau koherensi linear.
5.       Tidak asa satupun teks yang secara utuh dipahamai secara sederhana melalui analisis logis struktur urutan llinear karena semua relasi logis antar proposisi tidak pernah sepenuhnya terlakrifikasi berdasarkan bukti-bukti simbolik.
6.       Kadang-kadang apa yang dikatakan (secara simbolik ditunjukkan) pada tingkat permukaan (luaran) memberi kita pemahaman apa yang terdapat pada tingkat yang lebih dalam seperti yang tampak pada teks.
Sejalan dengan yang disampaikan dengan Fowler, Cook (Sugira Wahid dan Juanda, 2006: 78) merumuskannnya sebagaiberikut:
(a)    Teks merupakan semua bentuk bahasa baik  itu kata-kata yang tercetak di kertas, tetapi juga berbagai ekspresi komunikasi, seperti: ucapan, musik, gambar, efek suara, citra, dan lain-lain.
(b)   Konteks terdiri atas semua situasi yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa seperti: partisipan, situasi, fungsi, dan lain-lain.
(c)    Wacana, menurutnya adalah teks dan konteks sebagai suatu kesatuan.
Dalam pandangan Halliday, teks dimaknai secara dinamis. Teks adalah bahasa yang sedang melaksanakan tugas tertentu dalam konteks situasi (Halliday & Hasan, 1994:13). Teks adalah contoh interaksi lingual tempat masyarakat secara aktual menggunakan bahasa; apa saja yang dikatakan atau ditulis; dalam konteks yang operasional(operational context) yang dibedakandari konteks kutipan (a citational context), seperti kata-kata yang didaftar dalam kamus (Halliday). Teks berkaitan dengan apa yang secara aktual dilakukan, dimaknai, dan dikatakan oleh masyarakatdalam situasi yang nyata.
Dalam rumusan yang lain, Halliday berpendapat bahwa teks adalah suatu pilihan semantis (semantic choice) dalam konteks sosial, suatu cara pengungkapan makna lewat bahasa lisan atau tulis (Sutjaja,1990: 74). Semua bahasa yang hidup yang mengambil bagian tertentu dalam konteks situasi dapat dinamakan teks. Terkait dengan teks, Halliday memberikan beberapapenjelasan berikut.
Pertama, teks adalah unit semantis. Menurut Halliday (dalam Santoso, 2008), kualitas tekstur tidak didefinisikan dari ukuran. Teks adalah sebuah konsep semantis. Meskipun terdapat pengertian sebagai sesuatu di atas kalimat (super-sentence), sesuatu yang lebih besar daripada kalimat, dalam pandangan Halliday hal itu secara esensial, salah tunjuk pada kualitas teks. Kita tidak dapat merumuskanbahwa teks itu lebih besar atau lebih panjang daripada kalimat atau klausa. Ditegaskan oleh Halliday (1994) dalam kenyataannya kalimat-kalimat itu lebih merupakan realisasi teks daripada merupakan sebuah teks tersebut. Sebuah teks tidak tersusun dari kalimat-kalimat atau klausa,tetapi direalisasikan dalam kalimat-kalimat.
Kedua, teks dapat memproyeksikan makna kepada level yang lebih tinggi. Menurut Halliday (dalam Santoso, 2008), sebuah teks selain dapat direalisasikan dalam level-level sistem lingual yang lebih rendah seperti sistem leksikogramatis dan fonologis juga merupakan realisasi dari level yang lebih tinggi dari interpretasi, kesastraan, sosiologis,psikoanalitis, dan sebagainya yang dimilikioleh teks itu. Level-level yang lebih rendah itu memiliki kekuatan untuk memproyeksikan makna pada level yang lebihtinggi, yang oleh Halliday diberi istilah latar depan (foregrounded).
Ketiga, teks adalah proses sosiosemantis. Halliday (dalam Santoso, 2008) berpendapat bahwa dalam arti yang sangat umum sebuah teks merupakan sebuah peristiwa sosiologis, sebuah perjumpaan semiotis melalui makna-makna yang berupa sistem sosial yang sedang saling dipertukarkan. Anggota masyarakat yakni individu-individu adalah seorang pemakna (meaner). Melalui tindak tanduk pemaknaan antara individu bersama individu lainnya, realitas sosial diciptakan, dijaga dalam urutan yang baik, dan secara terus-menerus disusun dan dimodifikasi.
Fitur esensial sebuah teks adalah adanya interaksi. Dalam pertukaran makna itu terjadi perjuangan semantis (semantic contest) antara individu-individu yang terlibat. Karena sifatnya yang perjuangan itu,makna akan selalu bersifat ganda, tidak ada makna yang bersifat tunggal begitu saja. Dengan demikian, pilihan bahasa pada hakikatnya adalah perjuangan atau pertarungan untuk memilih kode-kode bahasa tertentu.
Keempat, situasi adalah faktor penentu teks. Menurut Halliday (dalam Santoso, 2008), makna diciptakan oleh sistem sosial dan dipertukarkan oleh anggota-anggota masyarakat dalam bentuk teks. Makna tidak diciptakan dalam keadaan terisolasi dari lingkungannya. Secara tegas dirumuskan oleh Halliday bahwa makna adalah sistem sosial. Perubahan dalam sistem sosial akan direfleksikan dalam teks. Situasi akan menentukan bentuk dan makna teks.
2.       Koteks
Nong (2009) Koteks adalah teks yang bersifat sejajar, koordinatif, dan memiliki hubungan dengan teks lainnya, teks satu memiliki hubungan dengan teks lainnya. Teks lain tersebut bisa berada di depan (mendahului) atau di belakang (mengiringi).
Keberadaan koteks dalam suatu struktur wacana menunjukkan bahwa teks tersebut memiliki struktur yang saling berkaitan satu dengan yang lain. Gejala inilah yang menyebabkan suatu wacana menjadi utuh dan lengkap. Dengan demikian, koteks berfungsi sebagai alat bentu memahami dan menganalisis wacana. Koteks adalah teks yang berhubungan dengan sebuah teks yang lain. Koteks dapat pula berupa unsur teks dalam sebuah teks. Wujud koteks bermacam-macam, dapat berupa kalimat, atau paragraf. Koteks disebut juga sebagai konteks lingusitik. Contoh penggunaan koteks adalah sebagai berikut.
Terimakasih.
Jalan pelan-pelan! Banyak anak-anak.
Wacana dua adalah peringatan bagi orang yang akan melewati jalan kampung. Apabila pejalan telah menaatinya misalnya dengan mengurangi laju kendaraanya, maka wacana satu adalah satu ucapan yang diberikan masyarakat setempat kepada pejalan. Salah satu teks tersebut berkedudukan sebagai koteks (teks penjelas) bagi teks lainnya.
3. Konteks
3.1 Hakikat Konteks
Konteks adalah benda atau hal yang berada bersama teks dan menjadi lingkungan atau situasi penggunaan bahasa. Konteks tersebut dapat berupa konteks linguistik dan dapat pula berupa konteks ekstralinguistik. Konteks linguistik yang juga berupa teks atau bagian teks dan menjadi lingkungan sebuah teks dalam wacana yang sama dapat disebut konteks ekstralinguistik berupa hal-hal yang bukan unsur bahasa, seperti partisipan, topik, latar atau setting (tempat, waktu, dan peristiwa), saluran (bahasa lisan atau tulis), bentuk komunikasi (dialog, monolog, atau polilog)
Pengguna bahasa harus memperhatikan konteks agar dapat menggunakan bahasa secara tepat dan menentukan makna secara tepat pula. Dengan kata lain, pengguna bahasa senantiasa terikat konteks dalam menggunakan bahasa. Konteks yang harus diperhatikan adalah konteks linguistik dan konteks ekstralinguistik.
Situasi adalah lingkungan tempat teks beroperasi. Konteks situasi adalah keseluruhan lingkungan, baik lingkungan tutur (verbal) maupun lingkungan tempat teks itu diproduksi (diucapkan atau ditulis). Untuk memahami teks dengan sebaik-baiknya, diperlukan pemahaman terhadap konteks situasi dan konteks budayanya. Dalam pandangan Halliday (dalam Santoso, 2008), konteks situasiterdiri atas tiga unsur, yakni (i) medan wacana,(ii) pelibat wacana, dan (iii) moduswacana.
Medan wacana (field of discourse) merujuk kepada aktivitas sosial yang sedang terjadi serta latar institusi tempat satuan-satuan bahasa itu muncul. Untuk menganalisis medan, kita dapat mengajukan pertanyaan what is going on, yang mencakup tiga hal, yakni ranah pengalaman, tujuanjangka pendek, dan tujuan jangka panjang. Ranah pengalaman merujuk kepada ketransitifan yang mempertanyakan apa yang terjadi dengan seluruh proses, partisipan, dan keadaan. Tujuan jangka pendek merujuk pada tujuan yang harus segera dicapai.
Tujuan itu bersifat amat konkret. Tujuan jangka panjang merujuk pada tempatteks dalam skema suatu persoalan yang lebihbesar. Tujuan tersebut bersifat lebih abstrak. Pelibat wacana (tenor of discourse) merujukpada hakikat relasi antarpartisipan, termasuk pemahaman peran dan statusnya dalam konteks sosial dan lingual. Untukmenganalisis pelibat, kita dapat mengajukanpertanyaan who is taking part, yang mencakuptiga hal, yakni peran agen atau masyarakat, status sosial, dan jarak sosial.Peran terkait dengan fungsi yang dijalankanindividu atau masyarakat. Status terkaitdengan tempat individu dalam masyarakat sehubungan dengan orang-orang lain,sejajar atau tidak. Jarak sosial terkait dengantingkat pengenalan partisipan terhadap partisipan lainnya, akrab atau memiliki jarak.
Peran, status, dan jarak sosial dapat bersifat sementara dan dapat pula permanen. Modus wacana (mode of discourse) merujukpada bagian bahasa yang sedang dimainkandalam situasi, termasuk saluranyang dipilih, apakah lisan atau tulisan. Untukmenganalisis modus, pertanyaan yangdapat diajukan adalah what s role assignedto language, yang mencakup lima hal, yakniperan bahasa, tipe interaksi, medium, saluran,dan modus retoris.
Peran bahasa terkait dengan kedudukan bahasa dalam aktivitas: bisa saja bahasa bersifat wajib (konstitutif) atau tidak wajib/penyokong/tambahan. Peran wajib terjadi apabila bahasa sebagai aktivitas keseluruhan. Peran tambahan terjadi apabila bahasa membantu aktivitas lainnya. Tipe interaksi merujuk pada jumlah pelaku: monologis atau dialogis. Medium terkait dengan sarana yang digunakan: lisan, tulisan, atau isyarat. Saluran berkaitan dengan bagaimana teks itu dapat diterima: fonis, grafis, atau visual. Modus retoris merujuk pada perasaan teks secara keseluruhan, yakni persuasif, kesastraan, akademis, edukatif, mantra, dan sebagainya.
2.2 Macam-macam Konteks
Konteks adalah sesuatu yang menyertai atau yang bersama teks. Secara garis besar, konteks wacana dibedakan atas dua kategori, yakni konteks linguistik dan konteks ekstralinguistik. Konteks linguistik adalah konteks yang berupa unsur-unsur bahasa. Konteks linguistik itu mencakup penyebutan depan, sifat kata kerja, kata kerja bantu, dan proposisi positif
Di samping konteks ada juga koteks. Koteks adalah teks yang berhubungan dengan sebuah teks yang lain. Koteks dapat pula berupa unsur teks dalam sebuah teks. Wujud koteks bermacam-macam, dapat berupa kalimat, paragraf, dan bahkan wacana.
Konteks ekstralinguistik adalah konteks yang bukan berupa unsur-unsur bahasa. Konteks ekstralinguistik itu mencakup praanggapan, partisipan, topik atau kerangka topik, latar, saluran, dan kode. Partisipan adalah pelaku atau orang yang berpartisipasi dalam peristiwa komunikasi berbahasa. Partisipan mencakup penutur, mitra tutur. dan pendengar. Latar adalah tempat dan waktu serta peristiwa beradanya komunikasi. Saluran adalah ragam bahasa dan sarana yang digunakan dalam penggunaan wacana. Kode adalah bahasa atau dialek yang digunakan dalam wacana.
Dalam menganalisis wancana sasaran utamanya bukan pada struktur kalimat tetapi pada status dan nilai fungsional kalimat dalam konteks, baik itu konteks linguistik ataupun konteks ekstralinguistik.
Tiga manfaat konteks dalam analisis wancana.
  1. Penggunaan konteks untuk mencari acuan, yaitu pembentukan acuan berdasarkan konteks linguistik.
  2. Penggunaan konteks untuk menentukan maksud tuturan, yaitu bahwa maksud sebuah tuturan ditentukan oleh konteks wancana.
  3. Penggunaan konteks untuk mencari bentuk tak terujar yaitu bentuk yang memiliki unsur tak terujar atau bentuk eliptis adalah bentuk yang hanya dapat ditentukan berdasarkan konteks.
Jufri (2008: 22) menjelaskan bahwa konteks dalam analisis wacana kritis dipandang perlu mengkaji tentang latar, situasi, peristiwa, dan kondisi. Dalam perpektif kritis wacana dipahami sebagai penggunaan bahasa sebagai praktek sosial. Wacana harus dipahamai dari tiga dimensi kewacanaan secara simultan, wacana, teks, dan praktek sosial kultural.
Fairclough (Jufri, 2008: 22) berpandangan bahwa dimensi kewacanaan secara simultan, seperti dimensi teks meliputi bahasa lisan dan Tulisan dimensi praktek wacana yang berkaitan dengan produksi dan interpretasi teks, dan dimensi praktek sosial kultural yang berkaitan dengan perubahan aspek sosial masyarakat, intitusi, dan kebudayaan turut menentukan bentuk dan makna sebuah wacana.
Dalam pemahaman teks dapat dipertimbangkan faktor historisnya karena wacana diproduksi dalam konteks tertentu. Oleh karena itu, untuk memahamai teks tersebut yang terpenting perlu diperhatikan adalah konteks historis tertentu. Pemahaman wacana dapat diperoleh apabila kalau kita dapat memahami konteks historis di tempat teks tersebut diproduksi. (Jufri, 2008: 23)

4. Pandangan tentang Teks adalah Proses Sosiosemantis
Halliday (dalam Santoso, 2008) berpendapat bahwa sebuah teks merupakan sebuah peristiwa sosiologis, sebuah perjumpaan semiotis melalui makna-makna yang berupa sistem sosial yang sedang saling dipertukarkan. Anggota masyarakat adalah seorang pemakna. Dalam pertukaran makna itu, terjadi perjuangan semantis (semantic contest) antara individu-individu yang terlibat. Karena sifatnya yang perjuangan itu, makna akan selalu bersifat ganda, tidak ada makna yang bersifat tunggal begitu saja. Dengan demikian, pilihan bahasa pada hakikatnya adalah perjuangan atau pertarungan untuk memilih kode-kode bahasa tertentu.
Jejak pandangan Halliday tersebut dapat dilacak pada pandangan Menz dan Birch tentang pilihan bahasa. Menurut mereka, makna dan nilai dari pilihan bahasa bukan menjadi milik individu yang unik, tetapi diproduksi dalam perjuangan atau perebutan komunikatif (communicative struggle) dan interaksi aktual yang ditentukan secara ideologis dan dimotivasi secara politis. Merujuk pada pandangan ini, aktor yang memproduksi teks bukanlah individu yang merdeka , tetapi ia merupakan individu yang diatur oleh dimensidimensi sosiokultural dan institusional yang determinatif. Individu-individu sering berada di bawah kesadaran dalam melakukan pilihan bahasa itu.
Senada dengan pandangan Menz, menurut Birch (dalam Santoso, 2008), pilihan bahasa dibuat menurut seperangkat kendala (constraints) politis, sosial, kultural, dan ideologi. Ada kekuatan di luar individu yang ikut menentukan bentuk bahasa tertentu yang akan digunakan.
Hal itu sering terjadi secara bawah sadar. Implikasinya adalah bahwa masyarakat dapat dimanipulasi, dikehendaki dalam aturan yang baik (good order), dan dinilai peran dan status bawahan serta atasan (inferior-superior) melalui sistem strategi sosial yang melibatkan aspek-aspek: kuasa, aturan, subordinasi, solidaritas, kohesi, antagonisme, kesenangan, dan sebagainya yang semuanya merupakan bagian integral dari kontrol terhadap masyarakat.
Konsep sosiosemantis di atas juga dapat dilacak pada pandangan Fowler (dalam Santoso, 2008) tentang ketidaknetralan kode kebahasaan karena menjalankan fungsi representasi. Kode kebahasaan atau lingual tidak merefleksikan realitas secara netral. Kode lingual itu menafsirkan, mengorganisasikan, dan mengklasifikasikan subjek-subjek wacana.
Wacana tertentu selalu membentuk teori tentang bagaimana dunia itu disusun. Hal itulah yang disebut pandangan dunia atau ideologi . Bahasa tidak hanya sebagai pengetahuan yang internal dan pasif. Sebaliknya, bahasa adalah aktivitas yang dibawa dalam berbicara, menyimak, menulis, dan membaca yang aktual dan intensif setiap hari. Dalam konteks itu, peringatan Fowler perlu dicamkan, yakni akal sehat itu bukan se-suatu yang alamiah, tetapi produk dari konvensi sosial . Oleh karena itu, akal sehat itu perlu dikritisi.
Makna sosial dihasilkan dari konstruksi sosial realitas. Yang menjadi persoalan adalah ketika berhadapan dengan kata-kata yang mengandung makna sosial itu banyak anggota masyarakat menyikapinya sebagai kata yang mengandung makna alamiah sehingga kata-kata tersebut dianggap sebagai sesuatu yang berupa akal sehat. Dalam persoalan ini, Fowler (dalam Santoso, 2008) menegaskan bahwa bahasa-bahasa itu beragam dalam mengodekan makna, bahkan dalam menganggap sebuah area dasar dan strukturstruktur pengalaman. Hal tersebut sesuai dengan rumusan Halliday bahwa bahasa melayani ekspresi, bahasa memiliki representasi, atau bahasa memiliki fungsi ideasional tempat penutur atau penulis mewujudkan pengalaman dari dunia nyata ke dalam bahasa. Pengalaman manusia, apa yang kita ketahui, dan apa yang kita butuhkan selain sudah dikodekan dalam sumber makna yang bersifat personal, juga produk dari posisi kita dalam relasi-relasi sosioekonomis.
Fowler (dalam Santoso, 2008) selalu mempertahankan tesisnya bahwa teks merupakan realisasi sebuah modus wacana, biasanya lebih dari satu modus. Sebuah teks bukan hanya karya individual. Teks yang dihasilkan oleh penghasil teks sebagai individu bukanlah hasil dari keseluruhan individu itu. Teks yang dihasilkan mungkin saja berasal dari wacana praada (baca: sebelumnya) yang itu semua berakar pada kondisi-kondisi sosial, ekonomi, politis, dan ideologis yang terletak jauh di balik kesadaran dan kontrol penghasil teksnya. Sebuah teks yang lahir mungkin saja hasil dari suatu perjuangan di antara banyak tangan penghasil wacana itu.
Dengan demikian, kajian bahasa hakikatnya adalah kajian kewacanaan yang bersifat historis. Sistem bahasa merupakan bagian yang integral dari struktur dan proses sosial. Sebuah wacana tidak dapat terlepas dari dimensi kesejarahan. Sebuah tuturan politik oleh seorang pemimpin partai, misalnya, bukanlah teks yang vakum sosial.
Sebaliknya, teks tuturan itu dibentuk oleh sebuah proses yang rumit dan panjang dalam pertarungan sosial. Banyak tangan yang ikut campur menentukan bentuk dan isi teksturnya. Kajian terhadap teks-teks bahasa bukan semata-mata untuk kajian teks itu sendiri yang amat terbatas. Akan tetapi, kajian teks adalah kajian kewacanaan yang bersifat sosiosemantis dengan mengikutsertakan dimensi kritis, yakni politis, ideologis, dan kultural tentang bagaimana masyarakat dan institusi membuat makna melalui teks.

5. Pandangan tentang Kesatuan Teks dengan Konteksnya
Halliday mengemukakan bahwa teks itu selalu dilingkupi konteks situasi dan konteks budaya (dalam Santoso, 2008). Konteks situasi adalah keseluruhan lingkungan, baik lingkungan tutur (verbal) maupun lingkungan tempat teks itu diproduksi (diucapkan atau ditulis). Di atas konteks situasi terdapat konteks budaya yang melingkupi teks dan konteks situasi. Untuk memahami teks dengan sebaik-baiknya, diperlukan pemahaman terhadap konteks situasi dan konteks budaya.
Jejak Halliday tersebut dapat ditemukan dalam pandangan Fowler (1986:70) bahwa satuan bahasa dalam penggunaan yang nyata lebih dari sekadar sebuah teks yang dibangun bersama-sama dengan konvensi dasarnya, tetapi lebih banyak berupa wacana dari yang sudah dilahirkannya itu. Fowler membedakan konsep teks dan wacana. Wacana dibangun dari teks dan konteks. Untuk melihat bahasa sebagai teks membawa kita kepada kajian keseluruhan unit-unit komunikasi yang dilihat sebagai struktur sintaksis dan semantik yang koheren yang dapat diucapkan atau ditulis.
Dalam pandangan kritis, teks dipandang secara dinamis sebagai komunikasi interpersonal dalam konteks. Dengan demikian, teks dapat dipandang sebagai medium wacana. Untuk melihat bahasa sebagai wacana membawa kita kepada keseluruhan proses interaksi lingual yang rumit antara masyarakat yang menghasilkan dan masyarakat yang memahami teks.