Rabu, 29 Desember 2010

B A H A S A D A N S A S T R A: “Rumah Hujan” Sebuah Kajian Struktural.

B A H A S A D A N S A S T R A: “Rumah Hujan” Sebuah Kajian Struktural.

B A H A S A D A N S A S T R A: BAHAN AJAR MENYIMAK DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SEKOLAH DASAR

B A H A S A D A N S A S T R A: BAHAN AJAR MENYIMAK DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SEKOLAH DASAR

BAHAN AJAR MENYIMAK DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SEKOLAH DASAR


A. Pendahuluan

            Pengajaran bahasa Indonesia bertujuan memberikan pengetahuan kebahasaan agar murid mampu menguasai bahasa Indonesia sebaik-baiknya. Untuk mencapai tujuan ini maka, pada dasarnya ada empat keterampilan berbahasa yang harus dikuasai oleh murid secara baik dan benar sebagaimana tercantum dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), yaitu keterampilan menyimak (listening skill) keterampilan berbicara (speaking skill), keterampilan membaca (reading skill), dan keterampilan menulis (writing skill).
            Dari keempat keterampilan berbahasa (language skill) yang dikemukakan di atas, hanya keterampilan menyimak yang akan menjadi perhatian dalam makalah ini karena pada umumnya pengetahuan diperoleh melalui keterampilan menyimak. Setiap orang mendengar berita-berita melalui media massa maupun informasi melalui tatap muka, saat itu telah berlangsung pula kegiatan menyimak. Oleh karena itu, pengajaran menyimak mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses pembelajaran di sekolah dasar sebab kemampuan menyimak yang baik adalah kondisi awal untuk menghasilkan prestasi belajar yang baik.
            Berbagai pengalaman dalam melaksanakan pembelajaran bahasa Indonesia mengindikasikan bahwa kemampuan menyimak murid sekolah dasar belum optimal. Hal ini dapat diketahui dari hasil penelitian Muhaimin (2006) yang dicapai murid dalam proses-belajar mengajar di mana murid yang terlibat dalam kegiatan, yang mampu menyimak secara baik dan benar mempunyai persentase yang masih rendah. Indikasi ini menandakan masih rendahnya kemampuan menyimak murid tersebut terlihat pula hasil yang diperoleh dalam ulangan semester misalnya. Daya serap murid pada semua mata pelajaran dari seluruh murid dalam suatu kelas masih banyak nilai di bawah nilai standar 7,5. Ini berarti penguasaan murid terhadap mata pelajaran juga masih rendah.
            Setelah ditelusuri lebih jauh, hal tersebut di atas ternyata (salah satu) disebabkan oleh kurangnya kemampuan murid menyimak materi pelajaran. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ada kesenjangan antara hasil pengajaran menyimak dengan target ideal, yaitu tercapainya kemampuan optimal murid dalam menyimak.                

B.  Kemampuan Menyimak

1.   Pengertian Menyimak
            Orangtua sering memberikan nasihat kepada putra-putrinya yang berbunyi, kalau orangtua sedang bicara, jangan hanya sekedar mendengar saja, masuk dari telinga kiri keluar dari telinga kanan, tetapi simaklah, dengarkanlah baik-baik, masukkan ke dalam hati.
            Apabila kita memerhatikan cuplikan di atas, maka menyimak sangat dekat maknanya dengan mendengar dan mendengarkan. Namun, kalau kita pelajari lebih jauh, ketiga kata itu terdapat perbedaan pengertian. Mendengar didefinisikan sebagai suatu proses penerimaan bunyi yang datang dari luar tanpa banyak memerhatikan makna dan pesan bunyi itu. Sedangkan menyimak adalah proses mendengar dengan pemahaman dan perhatian terhadap makna dan pesan bunyi itu. Jadi, di dalam proses menyimak sudah termasuk mendengar, sebaliknya mendengar belum tentu menyimak. Di dalam bahasa Inggris terdapat istilah “listening comprehension” untuk menyimak dan “to hear” untuk mendengar.
            Sutari, (1998: 16) menyimpulkan bahwa:
Mendengar mempunyai makna, dapat menangkap suara (bunyi) dengan telinga, sadar atau tidak. Kalau ada bunyi, alat pendengaran kita akan menangkap bunyi tersebut’. Proses mendengar terjadi tanpa perencanaan, tetapi datang secara kebetulan, mungkin juga tidak.
            Menurut Poerwadarminta (1984: 941) “Menyimak adalah mendengar atau memerhatikan baik-baik apa yang diucapkan atau dibaca orang”.
            Menyimak merupakan proses pendengaran, mengenal dan menginterprestasikan lambang-lambang lisan, sedangkan mendengar adalah suatu proses penerimaan bunyi yang datang dari luar tanpa banyak memerhatikan makna itu. Dengan kata lain menurut Tarigan (1993: 19): “Dalam proses menyimak juga terdapat proses mendengar, tetapi tidak selalu terdapat proses menyimak di dalam suatu proses mendengar.”
            Kalau keterampilan menyimak dikaitkan dengan keterampilan berbahasa yang lain, seperti keterampilan membaca, maka kedua keterampilan berbahasa ini berhubungan erat, karena keduanya merupakan alat untuk menerima komunikasi. Perbedaannya terletak dalam hal jenis komunikasi. Menyimak berhubungan dengan komunikasi lisan, sedangkan membaca berhubungan dengan komunikasi tulis. Dalam hal tujuan, keduanya mengandung persamaan, yaitu memperoleh informasi, menangkap isi, memahami makna komunikasi.
            Menurut Tarigan (1993: 20) mengemukakan pengertian menyimak sebagai berikut:
Menyimak adalah suatu proses kegiatan mendengarkan lambang-lambang lisan dengan penuh perhatian, pemahaman, argumentasi, serta interprestasi untuk memperoleh informasi, menangkap serta, memahami makna komunikasi yang disampaikan si pembicara melalui ucapan atau bahasa lisan.

            Dari uraian di atas, maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa menyimak adalah mendengarkan serta memerhatikan baik-baik apa yang dibaca atau diucapkan oleh si pembicara serta menangkap dan memahami isi dan makna komunikasi yang tersirat di dalamnya. Dalam hal mendengarkan atau memerhatikan orang membaca atau orang yang bercakap, penyimak menerima keterangan melalui rangkaian bunyi bahasa dengan susunan nada dan tekanan suara orang yang membaca atau bercakap. Jika pembicara dan pembaca dapat melihat, maka penyimak akan dapat melihat gerak muka dan gerak tangan pembicara seperti, bibir, mimik, dan sebagainya. Jika penyimak menyimak lewat media bantu seperti tape recorder, maka si penyimak hanya dapat menyimak bunyi bahasa yang disampaikan oleh si pembicara.
            Dengan demikian, mendengar, mendengarkan, dan menyimak memiliki makna yang berbeda. Dalam mendengar, yang terlibat hanya fisik dan tidak ada unsur kesengajaan. Dalam menyimak, unsur mental terlibat lebih tinggi daripada mendengarkan.
2.   Fase-fase proses Kognitif dalam Menyimak
            Telah dikemukakan di atas, bahwa dalam menyimak kegiatan mental lebih aktif daripada mendengar. Dalam menyimak, terdapat proses mental mulai dari proses mengidentifikasikan bunyi, proses menyusun pemahaman dan penafsiran, proses penggunaan hasil pemahaman sampai penafsiran.
            Proses mengidentifikasian bunyi merupakan suatu proses penerimaan bunyi yang datang  dari luar tanpa banyak memerhatikan makna bunyi tersebut. Dalam proses ini barulah pada fase-fase mendengar.
            Proses penyusunan pemahaman dan penafsiran menunjuk kepada cara pendengar menyusun suatu penafsiran sebuah kalimat dari si pembicara, mulai dari identifikasi bentuk-bentuk bunyi sampai kepada pembentukan sebuah penafsiran yang sama dengan yang dimaksudkan oleh si pembicara tadi.
            Proses penggunaan menunjuk kepada upaya pendengar untuk menggunakan hasil penafsiran untuk tujuan selanjutnya, misalnya, mengakomodasi informasi, menjawab pertanyaan, menurut perintah, menanamkan harapan.
            Selain proses tersebut di atas, Sutari (1998: 20)  mengemukakan bahwa:
Pada dasarnya menyimak itu merupakan suatu proses kejiwaan mulai dari proses pengenalan bunyi yang didengarnya dengan penuh perhatian melalui alat pendengar. Kemudian, menyusun penafsiran yang penuh dengan pergaulan aktif antara terka, perkiraan, idealisasi, dibarengi dengan interprestasi dan apresiasi untuk menangkap informasi, ide, dan pesan. Selanjutnya, diteruskan dengan proses penyimpanan dan menghubungkan hasil penafsiran untuk memperoleh pemahaman komunikasi yang diantarkan lewat bahasa lisan.
            Selanjutnya Achsin dan Djirong (1985: 17) menambahkan: “Proses menyimpan atau mengingat sebagai bagian dari suatu proses menyimak.”  Pada uraian terdahulu telah dijelaskan bahwa menyimak bukan hanya mendengarkan. Mendengar hanya taraf penerimaan bunyi tanpa memerhatikan makna yang terkandung dalam bunyi itu. Dalam kegiatan menyimak setelah proses penerimaan bunyi terjadi aktivitas mental dalam berbagai tingkat yaitu proses pembentukan pemahaman, proses pemanfaatan, dan proses penyimpanan dalam ingatan jangka panjang. Pesan atau informasi yang tersimpan  dalam ingatan  tersebut pada saat diperlukan dapat muncul kembali dipermukaan dalam bentuk kegiatan berbahasa yang bersifat produktif.
            Kegiatan menyimak merupakan kegiatan berbahasa yang cukup kompleks karena melibatkan berbagai proses menyimak dalam saat yang sama. Pada saat menyimak mendengar bunyi berbahasa, pada saat itu pula mentalnya aktif bekerja mencoba memahami, menafsirkan apa yang disampaikan pembicara,  dan pada saat itu ia harus menerima renspons. Pada dasarnya respons yang diberikan itu akan terjadi setelah terjadinya integrasi antara pesan yang didengar dengan latar belakang pengetahuan dan pengalaman penyimak. Respons itu bisa sama dengan yang dikehendaki pembicara dan bisa pula tidak sama.
            Mengingat proses menyimak itu ternyata muncul dalam waktu yang hampir bersamaan, maka dapat dipastikan bahwa urutan-urutan proses itu bekerja dengan cepat. Kalau perjalanan proses itu mendapat gangguan di tengah jalan, dengan sendirinya kegiatan menyimak tidak berlangsung sempurna, dan pemahamanpun tidak tercapai. Ini berarti penyimak tidak dapat melakukan respons. Terlambat berarti gagal menyimak. Mungkin hanya sampai tingkat mendengar atau mendengarakan.
            Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hakikat menyimak itu adalah suatu rentetan proses, mulai dari proses mengidentifikasi bunyi, menyusun penafsiran, memanfaatkan hasil penafsiran, dan proses penyimpanan, serta proses menghubung-hubungkan hasil penafsiran itu dengan keseluruhan pengetahuan dan pengalaman.

3.   Tujuan Pembelajaran Menyimak
            Berdasarkan uraian terdahulu bahwa menyimak adalah suatu penerimaan pesan, gagasan atau pikiran seseorang. Pesan itu harus dipahami dengan jelas oleh penyimak. Sebagai bukti ia memahami pesan itu, ia harus bereaksi memberi tanggapan atau respons. Jadi, kegiatan menyimak merupakan kegiatan disengaja, direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu. Kesadaran untuk mencapai tujuan itu menimbulkan aktivitas berfikir dalam menyimak. Aktivitas menyimak yang tidak tepat akan menimbulkan tujuan menyimak tidak tercapai.
            Proses menyimak ada dua aspek tujuan yang perlu diperhatikan yaitu; pertama adanya pemahaman dan tanggapan penyimak terhadap pesan pembicara. Kedua pemahaman dan tanggapan penyimak terhadap pesan itu sesuai dengan kehendak pembicara.
            Berdasarkan dua aspek di atas kalau diperinci lebih jauh maka tujuan menyimak dapat disusun (Sutaji, 1998: 44) sebagai berikut:
a.       mendapat fakta
b.      menganalisis fakta
c.       mengevaluasi fakta
d.      mendapatkan inspirasi
e.       mendapat hiburan
f.       memperbaiki kemampuan berbicara
4.   Jenis-jenis Menyimak
            Adapun jenis-jenis menyimak dalam pembelajaran Bahasa Indonesia (Sutari, 1998: 47) adalah sebagai berikut:
            a.   Menyimak ekstensif (extensive listening)
            b.   Menyimak intensif (intensive listening)
            c.   Menyimak sosial (social listening)
                  d.   Menyimak sekunder (secondary listening)
            e.   Menyimak estetik (aesthetic listening)
            f.    Menyimak kritis (critical listening)
            g.   Menyimak konsentratif (consentrative listening)
            f.    Menyimak kreatif (creative listening)
            g.   Menyimak introgatif (introgative litening)
            h.   Menyimak penyelidikan (exploratory listening)
            i.    Menyimak pasif (passive listening)
            j.    Menyimak selektif (selective listening)
            Untuk lebih jelasnya mengenai jenis-jenis menyimak sebagai dikemukakan di atas, dapat diuraikan sebagai berikut:     
a.   Menyimak ekstensif (extensive listening)
            Menyimak ekstensif adalah sejenis kegiatan menyimak yang berhubungan dengan hal-hal lebih umum dan lebih bebas terhadap sesuatu bahasa, tidak perlu di bawah bimbingan langsung seorang guru.
            Penggunaan yang paling mendasar ialah untuk menyajikan kembali bahan yang telah diketahui dalam suatu lingkungan baru dengan cara yang baru. Sealain itu, dapat pula murid dibiarkan mendengar butir-butir kosakata dan struktur-struktur yang baru bagi murid yang terdapat dalam arus bahasa yang ada dalam kapasitasnya untuk menanganinya.
            Pada umunya, sumber yang paling baik untuk menyimak ekstensif adalah rekaman yang dibuat guru sendiri, misalnya rekaman yang bersumber dari siaran radio, televisi, dan sebagainya.
b.   Menyimak intensif (intensive listening)
            Menyimak intensif adalah menyimak yang diarahkan pada suatu yang jauh lebih diawasi, dikontrol, terhadap suatu hal tertentu. Dalam hal ini harus diadakan suatu pembagian penting yaitu diarahkan pada butir-butir bahasa sebagai bagian dari program pengajaran bahasa atau pada pemahaman serta pengertian umum. Jelas bahwa dalam kasus yang kedua ini maka bahasa secara umum sudah diketahui oleh para murid.
c.   Menyimak sosial (social listening)
            Menyimak sosial atau menyimak konversasional (conversational listening) ataupun menyimak sopan (courtens listening) biasanya berlangsung dalam situasi-situasi sosial tempat orang mengobrol mengenai hal-hal yang mrenarik perhatian semua orang dan saling mendengarkan satu sama lain untuk membuat respons-repons yang pantas, mengikuti detail-detail yang menarik, dan memerhatikan perhatian yang wajar terhadap apa-apa yang dikemukakan, dikatakan oleh seorang rekan.
            Dengan perkataan lain dapat dikemukakan bahwa menyimak sosial paling sedikit mencakup dua hal, yaitu perkataan menyimak secara sopan santun dengan penuh perhatian percakapan atau konversasi dalam situasi-situasi sosial dengan suatu maksud. Dan kedua mengerti serta memahami peranan-peranan pembicara dan menyimak dalam proses komunikasi tersebut.
d.   Menyimak sekunder (secondary listening)
                  Menyimak sekunder adalah sejenis kegiatan menyimak secara kebetulan dan secara ekstensif (casual listening dan extensive listening) misalnya, menyimak pada musik yang mengirimi tarian-tarian rakyat terdengar secara sayup-sayup sementara kita menulis surat pada teman di rumah atau menikmati musik sementara ikut berpartisipasi dalam kegiatan tertentu di sekolah seperti menulis, pekerjaan tangan dengan tanah liat, membuat sketsa dan latihan menulis dengan tulisan tangan.
e.   Menyimak estetik (aesthetic listening)
            Menyimak estetik yang juga disebut menyimak apresiatif (apreciational listening) adalah fase terakhir dari kegiatan menyimak secara kebetulan dan termasuk ke dalam menyimak ekstensif, mencakup dua hal yaitu pertama menyimak musik, puisi, membaca bersama, atau drama yang terdengar pada  radio atau rekaman-rekaman. Kedua menikmati cerita-cerita, puisi, teka-teki, dan lakon-lakon yang diceritakan oleh guru atau murid-murid.
f.    Menyimak kritis (critical listening)
                  Menyimak kritis adalah sejenis kegiatan menyimak yang di dalamnya sudah terlihat kurangnya atau tiadanya keaslian ataupun kehadiran prasangka serta ketidaktelitian yang akan diamati. Murid-murid perlu banyak belajar mendengarkan, menyimak secara kritis untuk memperoleh kebenaran.
g.   Menyimak konsentratif (consentrative listening)
                  Menyimak konsentratif sering juga disebut study-type listening atau menyimak yang merupakan jenis telaah. Kegiatan-kegiatan tercakup dalam menyimak konsentratif antara lain: menyimak untuk mengikuti petunjuk-petunjuk serta menyimak urutan-urutan ide, fakta-fakta penting, dan sebab akibat.
f.    Menyimak kreatif (Creative listening)
                  Menyimak kreatif adalah jenis menyimak yang mengakibatkan dalam pembentukan atau rekonstruksi seorang anak secara imaginatif kesenangan-kesenangan akan bunyi, visual atau penglihatan, gerakan, serta perasaan-perasaan kinestetik yang disarankan oleh apa-apa didengarnya.
g.   Menyimak introgatif (introgative litening)
            Menyimak introgatif adalah sejenis menyimak intensif yang menuntut lebih banyak konsentrasi dan seleksi, pemusatan perhatian dan pemilihan, karena sipenyimak harus mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Dalam kegiatan menyimak interogatif ini si penyimak mempersempit serta mengarahkan perhatiannya pada pemerolehan informasi atau mengenai jalur khusus.

h.   Menyimak penyelidikan (exploratory listening)
            Menyimak penyelidikan adalah sejenis menyimak intensif dengan maksud dan yang agak lebih singkat. Dalam kegiatan menyimak seperti ini si penyimak menyiagakan perhatiannya untuk menemukan hal-hal baru yang menarik perhatian dan informasi tambahan mengenai suatu topik atau suatu pergunjingan yang menarik.
i.    Menyimak pasif (passive listening)
            Menyimak pasif adalah penyerapan suatu bahasa tanpa upaya sadar yang biasa menandai upaya-upaya kita saat belajar dengan teliti, belajar tergesa-gesa, menghapal luar kepala, berlatih serta menguasai sesuatu bahasa. Salah satu contoh menyimak pasif adalah penduduk pribumi yang tidak bersekolah lancar berbahasa asing. Hal ini dimungkinkan karena mereka hidup langsung di daerah bahasa tersebut beberapa lama dan memberikan kesempatan yang cukup bagi otak mereka menyimak bahasa itu.
j.    Menyimak selektif (selective listening)
                  Menyimak selektif berhubungan erat dengan menyimak pasif. Betapapun efektifnya menyimak pasif itu tetapi biasanya tidak dianggap sebagai kegiatan yang memuaskan. Oleh karena itu menyimak sangat dibutuhkan. Namun demikian, menyimak selektif hendaknya tidak menggantikan menyimak pasif, tetapi justru melengkapinya. Penyimak harus memanfaatkan kedua teknik tersebut. Dengan demikian, berarti mengimbangi isolasi kultural kita dari masyarakat bahasa asing itu dan tendensi kita untuk menginterpretasikan

C.  Faktor-faktor yang Memengaruhi Kemampuan Murid Menyimak di Sekolah Dasar
            Menurut Tarigan (1993: 48) bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi keefektifan kemampuan menyimak antara lain: “(1) faktor keterbatasan sarana, (2) faktor kebahasaan, (3) faktor biologis, (4) faktor lingkungan, (5) faktor guru, (6) faktor metodologi,  (7) faktor kurikulum, dan (8) faktor-faktor tambahan.”
1.   Keterbatasan Sarana
                  Keterbatasan sarana yang dimaksudkan di sini adalah belum tersedianya buku-buku dan alat-alat lainnya yang memadai, kondisi ruangan belajar yang belum kondusif turut pula mempengaruhi pengajaran menyimak dan jumlah murid yang terlalu banyak di kelas serta masih kurangnya sekolah yang memiliki laboratorium bahasa.
2.   Kebahasaan
                  Kendala utama di dalam pengajaran menyimak adalah faktor yang bersifat kebahasaan yaitu mulai dari mengenal bunyi di tingkat fonologis, kata, kalimat, dan ujaran wacana sampai kepada menangkap, menyimpan isi ujaran serta kemampuan menyimpan hasil simakan. Di samping faktor-faktor ini masih ada faktor lain misalnya tanda baca serta tanda-tanda suprasegmental antara lain; tekanan, aksen, jeda, dan intonasi yang juga merupakan masalah bagi murid, terutama di dalam mempelajari bahasa asing.
3.   Biologis
            Murid yang pendengarannya kurang baik, karena mungkin ada organ-organ pendengarannya tidak berfungsi dengan baik, sudah pasti akan mengalami kesulitan dalam menyimak.
                  Dengan demikian dalam pengelolaan kelas seorang guru harus jeli memerhatikan keadaan muridnya. Murid yang kurang tajam pendengarannya, sebaiknya didudukkan di bangku paling depan atau murid yang kurang baik pendengarannya di sebelah kiri jangan di tempatkan paling kanan ruangan kelas, demikian pula sebaliknya.
4.   Lingkungan
            Lingkungan yang dimaksud di sini adalah di mana sekolah itu berada. Kalau lingkungan sekolah atau kelas itu penuh dengan suara kegaduhan, kebisingan, kehiruh-pikukan bunyi kendaraan lalu lintas di sekelilingnya, maka sudah pasti hasilnya tidak akan sebaik apabila pengajaran menyimak itu dilaksanakan di dalam suasana kondusif atau lingkungan yang tenang.
5.   Guru
                  Guru yang penampilannya simpatik, terampil menyajikan materi pengajaran dan menguasai bahan pengajaran akan lebih berhasil di dalam mengajar menyimak daripada guru yang mempunyai sifat-sifat yang berlawanan dari sifat-sifat yang dikemukakan di atas. Jelasnya kemampuan professional berupa penguasaan bidang pengajaran yang disajikan, kemampuan personal berupa sikap mental atau akhlak pribadi yang terpuji, misalnya suka membantu murid, membimbing murid, memuji keberhasilan murid, menghargai hasil karya murid, bersifat bersahabat dengan murid serta mempunyai kemampuan sosial berupa pendekatan secara kemasyarakatan baik kepada murid-murid, maupun terhadap guru-guru lain dan juga orangtua murid. Kesemuanya ini akan turut menentukan keberhasilan pengajaran menyimak khususnya dan pengajaran-pengajaran lainnya di sekolah.
6.   Metodologi yang Digunakan
            Guru yang kurang menguasai sesuatu metode yang digunakannya pasti kurang berhasil di dalam mengajar, demikian pula guru yang hanya mengetahui dan menggunakan hanya satu metode, sudah barang tentu hasilnya akan kurang dibandingkan dengan guru yang menguasai dan menggunakan banyak metode mengajar menyimak yang lebih baik.
7.   Kurikulum
                  Kurikulum yang disusun dengan baik dan jelas, akan sangat membantu guru-guru dalam mengajar menyimak. Materi menyimak di dalam kurikulum yang tidak terlalu padat atau berbelit-belit dan diorganisasikan dengan baik akan memudahkan guru mengajar menyimak. Begitu pula tingkat kesulitan bahan pengajaran menyimak dalam kurikulum hendaknya disesuaikan dengan perkembangan murid, baik perkembangan kebahasaan maupun perkembangan kematangan psikologis. Bahan pengajaran yang terlalu sukar dapat memprustasikan murid dan sebaliknya bahan pengajaran yang terlalu mudah dapat membosankan murid. Tingkat kesukaran materi penyajian sebaiknya berada pada tingkat yang biasa, disebut teacheable (tingkat dapat diajarkan), artinya tingkat kesukaran dan kemudahannya sesuai dengan perkembangan kebahasaan dan psikologis murid. Dengan demikian pengajaran menyimak akan berhasil dengan baik.
8.   Faktor-faktor tambahan
            Ada beberapa faktor yang mempengaruhi variabel-variabel yang dapat berpengaruh terhadap pemahaman dari hasil pendengaran (listening comprehension). faktor-faktor tersebut (Sutari, 1998: 68) adalah sebagai berikut:
            a.   Faktor kurang seringnya diadakan penelitian-penelitian yang terkontrol secara ilmiah;
            b.   Tak banyak mengenal validitas dan reliabilitas tes mendengar yang diterapkan dalam penelitian;
            c.   Karena sebagian besar penelitian belum terkoordinir dengan baik.
            Menurut pendapat di atas bahwa faktor lain yang bisa mempengaruhi upaya guru meningkatkan kemampuan murid menyimak di sekolah dasar, yaitu faktor kurang seringnya diadakan penelitian-penelitian yang terkontrol secara ilmiah; tak banyak mengenal validitas dan reliabilitas tes mendengar yang diterapkan dalam penelitian; dan karena sebagian besar penelitian belum terkoordinir dengan baik.

D.  Upaya Meningkatkan Kemampuan Murid Menyimak dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar
            Untuk meningkatkan kemampuan menyimak pada murid sekolah sekolah dasar, ada beberapa teknik yang perlu ditempuh (Tarigan, 1993: 61) yaitu:
            1.   Teknik loci (Locy System)
            2.   Teknik penggabungan
            3.   Teknik Fonetik
            4.   Teknik pengelompokan kategorial
            5.   Teknik Pemenggalan
            6.   Konsentrasi
            Untuk lebih jelasnya  mengenai teknik-teknik tersebut, maka dapat dilihat pada uraian sebagai berikut:
1.   Teknik loci (Loci System)
            Salah satu teknik mengingat yang paling tradisional adalah teknik loci. Teknik ini pada dasarnya memberikan cara mengingat pesan dengan memvisualisasikan dalam benak kita materi yang harus diingat.Teknik ini dilakukan dengan, mempelajari urutan informasi dengan informasi lain yang serupa, dengan mempelajari lokasi-lokasi yang ada disekitar kita dan mencocokan hal-hal yang akan diingat dengan lokasi-lokasi tersebut.
2.   Teknik penggabungan
            Teknik yang ke dua adalah teknik penggabungan (link system), teknik ini memberikan gagasan tentang cara mengingat,yaitu dengan menghubungkan (menggabungkan) pesan pertama yang akan diingat dengan pesan ke dua, ke tiga, dan seterusnya. Pesan berantai itu dihubungkan pula dengan imaji-imaji tertentu yang perlu anda visualkan secara jelas dalam pikiran. Untuk mencega terjadinya kelupaan pada pesan pertama (pesan yang akan dimata-rantaikan), anda pun perlu menghubungkan pesan pertama tersebut dengan lokasi yang akan mengingatkan anda
pada item tadi.
3.   Teknik Fonetik
            Sistem lain yang lebih kompleks tetapi cukup efektif adalah  teknik fonetik atau phonetic system. Teknik ini melibatkan penggabungan angka-angka, bunyi-bunyi fonetis, dan kata-kata yang mewakili bilangan-bilangan tadi serta bunyi-bunyi, dengan pesan yang akan diingat.
4.   Teknik pengelompokan kategorial
            Pengelompokan kategorial, yakni suatu teknik pengorganisasian yang dapat digunakan secara sistemtis untuk memodifikasikan informasi baru dengan cara memberikan struktur baru pada informasi-informasi tadi.
5.   Teknik Pemenggalan
            Teknik ini memberikan cara mengingat pesan dengan cara memenggal pesan-pesan yang panjang.contohnya, Apabilah mendengar orang menyebutkan nomor telepon, misalnya 6651814, maka agar mudah mengingatnya kita memenggal, kelompok angka itu menjadi 665-18-14, atau 66-51-814 dan sebagainya.
6.   Konsentrasi
            Berkonsentrasi pada pesan yang dikirimkan oleh pembicara merupakan kesulitan utama yang dihadapi oleh pendengar. Karena seringnya berkomonikasi dalam rentang waktu yang terlalu lama, sehingga keadaan seperti ini menuntutnya untuk membagi-bagi energi untuk memperhatikan antara berbagai ragam rangsang dan tidak merespon pada satu rangsang saja.
            Pendengar akan lebih bertanggung jawab dan meningkatkan konsentrasinya dengan melatih perilaku (Sutari, 1998: 66)  sebagai berikut:
            a.   Jujur terhadap penutur apabila ia mempunyai kesulitan dalam menangkap pesan yang disampaikan;
            b.   Membuat pertanyaan-pertanyaan pribadi agar lebih memperhatikan;
            c.   Melatih kebiasaan menuliskan pendapat orang lain pada sat penutur terlibat pembicaraan dengan pendengar lain
            d.   Mendengar dengan tujuan untuk  berbagai pesan antara satu penutur dengan penutur lain .
            e.   Memperaktekkan/ melatih kemampuan pendengar.
            Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa untuk meningkatkan konsentrasi, maka seseorang perlu mengembangkan sikap dan perilaku jujur terhadap penutur apabila ia mempunyai kesulitan dalam menangkap pesan yang disampaikan; membuat pertanyaan-pertanyaan pribadi agar lebih memperhatikan; melatih kebiasaan menuliskan pendapat orang lain pada sat penutur terlibat pembicaraan dengan pendengar lain; mendengar dengan tujuan untuk  berbagai pesan antara satu penutur dengan penutur lain;       dan memperaktekkan/ melatih kemampuan pendengar.
E. Penutup
            Faktor-faktor yang memengaruhi kemampuan menyimak murid sekolah dasar adalah: a) faktor keterbatasan sarana, b) faktor kebahasaan, c) faktor biologis, d) faktor lingkungan, e) faktor guru, f) faktor metodologi,  g) faktor kurikulum, dan h) faktor-faktor tambahan. Upaya meningkatkan kemampuan menyimak pada murid sekolah dasar adalah menempuh: a) Teknik loci (Locy System), b) teknik penggabungan, c) teknik fonetik, d) teknik pengelompokan kategorial, e) teknik Pemenggalan, dan f) konsentrasi. Meningkatkan konsentrasi ditempuh dengan melatih perilaku: (a) Jujur terhadap penutur; (b) membuat pertanyaan-pertanyaan pribadi agar lebih memperhatikan; (c) melatih kebiasaan menuliskan pendapat orang lain pada saat penutur terlibat pembicaraan dengan pendengar lain; (d) mendengar dengan tujuan untuk  berbagai pesan antara satu penutur dengan penutur lain; dan (e) memperaktekkan/melatih kemampuan pendengar.

DAFTAR PUSTAKA

Achsin, Amir. & Djirong, Basang. 1985. Pengajaran Menyimak. Ujung Pandang: FPBS IKIP Ujung Pandang.
Arikunto, Suharsimi, 1995. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Husain.A.R. 1993. Bahasa Indonesia Baku. Suatu Panduan Berbahasa Indonesia dengan Baik dan Benar. Solo: CV. Aneka.
Poerwadarminta, W.J.S. 1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Sutari, 1998. Menyimak. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Tarigan, Henry Guntur. 1993. Menyimak Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

Kamis, 23 Desember 2010

“Rumah Hujan” Sebuah Kajian Struktural.


Hasil Analisis
Analisis struktur cerpen dilakukan dengan cara menjelaskan struktur naratif cerpen yang meliputi: tema cerita, penokohan, alur cerita, latar (setting), sudut penceritaan ,dan gaya cerita.
  1. Tema cerita
Tema cerita ini adalah tentang kerinduan seorang anak yang bernama Narpati yang ditinggalkan ayah kemudian ibunya untuk mencari nafkah karena kesulitan hidup pada musim kemarau yang begitu panjang. Pertama, ayahnya pergi untuk mencari kayu untuk mebel dan kursi pesanan. Setelah lima bulan ayahnya belum kembali sehingga ibunya menyusul. Sampai Narpati berusia 9 tahun, ayahnya belum juga kembali. Selama itu ia diasuh oleh Budenya yang bernama Bude Kanti. Sebelumnya Narpati memiliki banyak teman yang sering datang kerumah Budenya yang dia beri nama rumah hujan. Tetapi sejak Wulan bermimpi aneh dibawah pohon dekat rumah hujan ia dan teman temannya dilarang bermain dengan Narpati karena menganggap Bude Narpati menganut ilmu hitam sehingga terpaksa Narpati dan Bude meninggalkan rumah tersebut dan masyarakat datang membakarnya.
  1. Penokohan
Tokoh Narpati, Ibu dan Bude adalah tokoh sentral dalam cerpen ini. Hal itu disebabkan persoalan yang berkaitan dengan ketiga tokoh  dalam cerpen tersebut sangat menonjol. Tokoh utama (Narpati) dalam cerpen ini digambarkan sebagai seorang anak yang berusia 5 tahun. Ia begitu rindu dengan ayahnya dan juga ibunya yang pergi menyusul mencari ayahnya namun tak pernah kembali. Selanjutnya ia tinggal bersama Bude, dirumah Budenya ia punya banyak teman. Namun ia mesti kehilangan teman temannya sejak mimpi aneh Wulan yang akhirnya oleh orang tuanya dilarang bermain dengan Narpati. Hingga Narpati meninggalkan rumah hujan karena terpaksa, ia pun tak pernah mengerti, yang ia tahu hanyalah kerinduan untuk bertemu dengan ayah ibunya.    
Tokoh utama yang lain adalah Ibu yang mempunyai sifat penyayang dan bertanggungjawab kepada anaknya Narpati. Hal itu ditunjukkan ketika dia mengurusi anaknya di pagi hari dengan membilas mukanya. Ia juga tak tega melihat Narpati terus menerus merindukan ayahnya hingga ia memutuskan untuk pergi mencarinya meski sampai akhir cerita ia tak pernah kembali.
Tokoh utama yang lain juga adalah Bude yang memiliki sifat penyayang kepada Narpati dan juga ia memiliki sifat misterius serta memiliki hubunga dengan alam lain. Hal ini terlihat ketika suatu malam Narpati terbangun pada suatu malam dan melihat Budenya dengan rambut terurai dihalaman rumah sambil komat kamit mengucapkan sesuatu kemudian muncul sinar didepannya.
Tokoh pendukung Ayah mempunyai sifat penyayang dan tanggungjawab kepada keluarganya sehingga ia rela pergi jauh untuk mencari nafkah meski ia tak pernah kembali. Tokoh pendukung lain adalah lima anak kecil, rusdi dan wulan digambarkan sebagai teman teman bermain Narpati meski pada akhirnya harus berpisah karena mimpi aneh yang dialami Wulan.
Tokoh pendukung lain dalam cerita ini adalah masyarakat desa yang digambarkan mengambil main hakim sendiri terhadap Bude Kanti berdasarkan mimpi aneh yang dialami Wulan dan munculnya dua sinar di rumah hujan. Akhirnya mereka membakar rumah tersebut, namun Bude Kanti dan Narpati selamat karena mereka lebih dulu meninggalkan rumah tersebut dan membawa barang barang berharga mereka.
  1. Alur cerita
Alur yang digunakan untuk mengisahkan Cerpen ”Rumah Hujan” ini adalah alur lurus. Cerita dimulai ketika Narpati berusia 5 tahun sejak ditinggalkan ayahnya, lantas ibunya juga menyusul mencari ayahnya sehingga ia tinggal bersama budenya. Hingga berumur 9 tahun ayah dan ibunya tak pernah kembali sampai ia dan budenya terusir dari kampung.
  1. Latar cerita
Secara fisik cerpen ini terjadi di sebuah rumah yang diberi nama rumah hujan, dibawah pohon besar dihalaman rumah,latar perjalanan dan bukit. Latar rumah tergambar ketika ibu membangunkan Narpati dipagi hari. Latar dibawah pohon besar ditunjukkan ketika Wulan bermimpi aneh dibawah pohon itu. Latar perjalanan dan bukit digambarkan ketika Narpati dan Bude sudah meninggalkan rumahnyadan dibukit itu ia menoleh ke arah rumah mereka yang dibakar oleh warga.
Secara sosial cerpen ini terjadi pada sebuah keluarga disebuh desa yang tengah dilanda kemarau berkepanjangan. Cerita selanjutnya kemudian berkisah tentang bude yang dianggap menganut ilmu hitam sehingga rumahnya dibakar dan terusir dari kampungnya namun tokoh utama dalam cerpen ini pun tak mengerti dengan kejadian ini karena yang dipikirkan hanyalah ayah dan ibunya yang selalu dirindukannya.
  1. Sudut cerita
Melalui sudut orang kedua yang bernama Narpati, pengarang menyampaikan kisahnya. Pengambilan sudut orang pertama ini menimbulkan efek empati pada pembaca untuk terlibat dalam cerita. Hal ini dimungkinkan karena dengan sudut penceritaan seolah olah pengarang sedang menceritakan pengalaman yang dialaminya kepada pembaca. Menurut Soemardjo dan Saini (dalam Sunarto: 2000:331) , sudut penceritaan demikian cocok untuk cerita mengenai problematika kejiwaan seseorang.
Melalui tokoh aku, pengarang hendak menunjukkan arti kehadiran orang tua bagi seorang anak. Meski apapun yang terjadi dalam kehidupannya, yang ia ingat hanyalah kedua orangtuanya dan mengabaikan konflik konflik sosial dalam lingkungannya.
  1. Gaya cerita.
Upaya untuk menyampaikan pesan bahwa kebersamaan orang tua dalam kehidupan seorang anak sangatlah berarti dijadikan pengarang sebagai kekuatan dalam membangun cerpen tersebut. Dengan gaya bercerita yang sarat dengan penerjemahan makna, cerpen ini mengajak kita untuk berfikir mengenai kehidupan dan kondisi psikologi seorang anak. Jelasnya cerpen ini menunjukkan kepada para orangtua agar jangan pernah meninggalkan anaknya karena hal itu sangat berat bagi seorang anak apalagi yang masih berusia dibawah 10 tahun.

wacana sebagai teks dan konteks


1.  Pengertian teks
Sebuah teks adalah terdiri dari unit-unit bahasa dalam penggunaannya. Unit-unit bahasa tersebut adalah merupakan unit gramatikal seperti klausa atau kalimat namun tidak pula didefenisikan berdasarkan ukuran panjang kalimatnya. Teks terkadang pula digambarkan sebagai sejenis kalimat yang super yaitu sebuah unit gramatikal yang lebih panjang daripada sebuah kalimat yang saling berhubungan satu sama lain. Jadi sebuah teks terdiri dari beberapa kalimat sehingga hal itulah yang membedakannya dengan pengertian kalimat tunggal. Selain itu sebuah teks dianggap sebagai unit semantik yaitu unit bahasa yang berhubungan dengan bentuk maknanya. Dengan demikian teks itu dalam realisasinya berhubungan dengan klausa yaitu satuan bahasa yang terdiri atas subyek dan predikat dan apabila diberi intonasi final akan menjadi sebuah kalimat.  
Teks merujuk pada wujud kongkret penggunaan bahasa berupa untaian kalimat yang mengemban proposisi-proposisi tertentu sebagai suatu keutuhan. Menurut Fowler (Sugira Wahid dan Juanda, 2006: 77) wacana tentu saja berbeda dengan teks, sebab wacana merujuk pada kompleksitas aspek yang terbentuk oleh interaksi antara aspek kebahasaan sebagaimana terwujud dalam teks dengan aspek luar bahasa. Interaksi tersebut selain menentukan karakteristik bentuk komunikasi ataupun penggunaan bahasanya juga berfungsi dalam menentukan makna suatu teks. Unsur yang dimaksudkan adalah diluar bahasa tersebut merujuk kepada ppemeran/partisipasn atau peserta komunikasi, tujuan, dan konteks dalam perpesktif kajian linguistik secara kritis, konteks tersebutmeliputi konteks ujaran, kebudayaan, dan konteks referensi.
Ada enam konsep utama teks dalam pandangan Vandijk (Sugira Wahid dan Juanda, 2006: 77), yaitu:
1.       Suatu teks adalah suatu entitas yang dirangkum dalam suatu topik
2.       Beberapa teks merupakan suatu wilayah pengertian yang secara hirarkis diorganisasikan mulai dari tingkat permukaan sampai ke dalam dan sampai pada topik yang lebih umum.
3.       Tingkat luaran (permukaan) suatu teks terdiri atas kata-kata (atau simbol-simbol) yang sebenarnya merupakan rangkaian ungkapan.
4.       Tingkat permukaan secara berturut-turut dapat dianalisis secara logis guna menunjukkan struktur logis atau hubungan linear atau koherensi linear.
5.       Tidak asa satupun teks yang secara utuh dipahamai secara sederhana melalui analisis logis struktur urutan llinear karena semua relasi logis antar proposisi tidak pernah sepenuhnya terlakrifikasi berdasarkan bukti-bukti simbolik.
6.       Kadang-kadang apa yang dikatakan (secara simbolik ditunjukkan) pada tingkat permukaan (luaran) memberi kita pemahaman apa yang terdapat pada tingkat yang lebih dalam seperti yang tampak pada teks.
Sejalan dengan yang disampaikan dengan Fowler, Cook (Sugira Wahid dan Juanda, 2006: 78) merumuskannnya sebagaiberikut:
(a)    Teks merupakan semua bentuk bahasa baik  itu kata-kata yang tercetak di kertas, tetapi juga berbagai ekspresi komunikasi, seperti: ucapan, musik, gambar, efek suara, citra, dan lain-lain.
(b)   Konteks terdiri atas semua situasi yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa seperti: partisipan, situasi, fungsi, dan lain-lain.
(c)    Wacana, menurutnya adalah teks dan konteks sebagai suatu kesatuan.
Dalam pandangan Halliday, teks dimaknai secara dinamis. Teks adalah bahasa yang sedang melaksanakan tugas tertentu dalam konteks situasi (Halliday & Hasan, 1994:13). Teks adalah contoh interaksi lingual tempat masyarakat secara aktual menggunakan bahasa; apa saja yang dikatakan atau ditulis; dalam konteks yang operasional(operational context) yang dibedakandari konteks kutipan (a citational context), seperti kata-kata yang didaftar dalam kamus (Halliday). Teks berkaitan dengan apa yang secara aktual dilakukan, dimaknai, dan dikatakan oleh masyarakatdalam situasi yang nyata.
Dalam rumusan yang lain, Halliday berpendapat bahwa teks adalah suatu pilihan semantis (semantic choice) dalam konteks sosial, suatu cara pengungkapan makna lewat bahasa lisan atau tulis (Sutjaja,1990: 74). Semua bahasa yang hidup yang mengambil bagian tertentu dalam konteks situasi dapat dinamakan teks. Terkait dengan teks, Halliday memberikan beberapapenjelasan berikut.
Pertama, teks adalah unit semantis. Menurut Halliday (dalam Santoso, 2008), kualitas tekstur tidak didefinisikan dari ukuran. Teks adalah sebuah konsep semantis. Meskipun terdapat pengertian sebagai sesuatu di atas kalimat (super-sentence), sesuatu yang lebih besar daripada kalimat, dalam pandangan Halliday hal itu secara esensial, salah tunjuk pada kualitas teks. Kita tidak dapat merumuskanbahwa teks itu lebih besar atau lebih panjang daripada kalimat atau klausa. Ditegaskan oleh Halliday (1994) dalam kenyataannya kalimat-kalimat itu lebih merupakan realisasi teks daripada merupakan sebuah teks tersebut. Sebuah teks tidak tersusun dari kalimat-kalimat atau klausa,tetapi direalisasikan dalam kalimat-kalimat.
Kedua, teks dapat memproyeksikan makna kepada level yang lebih tinggi. Menurut Halliday (dalam Santoso, 2008), sebuah teks selain dapat direalisasikan dalam level-level sistem lingual yang lebih rendah seperti sistem leksikogramatis dan fonologis juga merupakan realisasi dari level yang lebih tinggi dari interpretasi, kesastraan, sosiologis,psikoanalitis, dan sebagainya yang dimilikioleh teks itu. Level-level yang lebih rendah itu memiliki kekuatan untuk memproyeksikan makna pada level yang lebihtinggi, yang oleh Halliday diberi istilah latar depan (foregrounded).
Ketiga, teks adalah proses sosiosemantis. Halliday (dalam Santoso, 2008) berpendapat bahwa dalam arti yang sangat umum sebuah teks merupakan sebuah peristiwa sosiologis, sebuah perjumpaan semiotis melalui makna-makna yang berupa sistem sosial yang sedang saling dipertukarkan. Anggota masyarakat yakni individu-individu adalah seorang pemakna (meaner). Melalui tindak tanduk pemaknaan antara individu bersama individu lainnya, realitas sosial diciptakan, dijaga dalam urutan yang baik, dan secara terus-menerus disusun dan dimodifikasi.
Fitur esensial sebuah teks adalah adanya interaksi. Dalam pertukaran makna itu terjadi perjuangan semantis (semantic contest) antara individu-individu yang terlibat. Karena sifatnya yang perjuangan itu,makna akan selalu bersifat ganda, tidak ada makna yang bersifat tunggal begitu saja. Dengan demikian, pilihan bahasa pada hakikatnya adalah perjuangan atau pertarungan untuk memilih kode-kode bahasa tertentu.
Keempat, situasi adalah faktor penentu teks. Menurut Halliday (dalam Santoso, 2008), makna diciptakan oleh sistem sosial dan dipertukarkan oleh anggota-anggota masyarakat dalam bentuk teks. Makna tidak diciptakan dalam keadaan terisolasi dari lingkungannya. Secara tegas dirumuskan oleh Halliday bahwa makna adalah sistem sosial. Perubahan dalam sistem sosial akan direfleksikan dalam teks. Situasi akan menentukan bentuk dan makna teks.
2.       Koteks
Nong (2009) Koteks adalah teks yang bersifat sejajar, koordinatif, dan memiliki hubungan dengan teks lainnya, teks satu memiliki hubungan dengan teks lainnya. Teks lain tersebut bisa berada di depan (mendahului) atau di belakang (mengiringi).
Keberadaan koteks dalam suatu struktur wacana menunjukkan bahwa teks tersebut memiliki struktur yang saling berkaitan satu dengan yang lain. Gejala inilah yang menyebabkan suatu wacana menjadi utuh dan lengkap. Dengan demikian, koteks berfungsi sebagai alat bentu memahami dan menganalisis wacana. Koteks adalah teks yang berhubungan dengan sebuah teks yang lain. Koteks dapat pula berupa unsur teks dalam sebuah teks. Wujud koteks bermacam-macam, dapat berupa kalimat, atau paragraf. Koteks disebut juga sebagai konteks lingusitik. Contoh penggunaan koteks adalah sebagai berikut.
Terimakasih.
Jalan pelan-pelan! Banyak anak-anak.
Wacana dua adalah peringatan bagi orang yang akan melewati jalan kampung. Apabila pejalan telah menaatinya misalnya dengan mengurangi laju kendaraanya, maka wacana satu adalah satu ucapan yang diberikan masyarakat setempat kepada pejalan. Salah satu teks tersebut berkedudukan sebagai koteks (teks penjelas) bagi teks lainnya.
3. Konteks
3.1 Hakikat Konteks
Konteks adalah benda atau hal yang berada bersama teks dan menjadi lingkungan atau situasi penggunaan bahasa. Konteks tersebut dapat berupa konteks linguistik dan dapat pula berupa konteks ekstralinguistik. Konteks linguistik yang juga berupa teks atau bagian teks dan menjadi lingkungan sebuah teks dalam wacana yang sama dapat disebut konteks ekstralinguistik berupa hal-hal yang bukan unsur bahasa, seperti partisipan, topik, latar atau setting (tempat, waktu, dan peristiwa), saluran (bahasa lisan atau tulis), bentuk komunikasi (dialog, monolog, atau polilog)
Pengguna bahasa harus memperhatikan konteks agar dapat menggunakan bahasa secara tepat dan menentukan makna secara tepat pula. Dengan kata lain, pengguna bahasa senantiasa terikat konteks dalam menggunakan bahasa. Konteks yang harus diperhatikan adalah konteks linguistik dan konteks ekstralinguistik.
Situasi adalah lingkungan tempat teks beroperasi. Konteks situasi adalah keseluruhan lingkungan, baik lingkungan tutur (verbal) maupun lingkungan tempat teks itu diproduksi (diucapkan atau ditulis). Untuk memahami teks dengan sebaik-baiknya, diperlukan pemahaman terhadap konteks situasi dan konteks budayanya. Dalam pandangan Halliday (dalam Santoso, 2008), konteks situasiterdiri atas tiga unsur, yakni (i) medan wacana,(ii) pelibat wacana, dan (iii) moduswacana.
Medan wacana (field of discourse) merujuk kepada aktivitas sosial yang sedang terjadi serta latar institusi tempat satuan-satuan bahasa itu muncul. Untuk menganalisis medan, kita dapat mengajukan pertanyaan what is going on, yang mencakup tiga hal, yakni ranah pengalaman, tujuanjangka pendek, dan tujuan jangka panjang. Ranah pengalaman merujuk kepada ketransitifan yang mempertanyakan apa yang terjadi dengan seluruh proses, partisipan, dan keadaan. Tujuan jangka pendek merujuk pada tujuan yang harus segera dicapai.
Tujuan itu bersifat amat konkret. Tujuan jangka panjang merujuk pada tempatteks dalam skema suatu persoalan yang lebihbesar. Tujuan tersebut bersifat lebih abstrak. Pelibat wacana (tenor of discourse) merujukpada hakikat relasi antarpartisipan, termasuk pemahaman peran dan statusnya dalam konteks sosial dan lingual. Untukmenganalisis pelibat, kita dapat mengajukanpertanyaan who is taking part, yang mencakuptiga hal, yakni peran agen atau masyarakat, status sosial, dan jarak sosial.Peran terkait dengan fungsi yang dijalankanindividu atau masyarakat. Status terkaitdengan tempat individu dalam masyarakat sehubungan dengan orang-orang lain,sejajar atau tidak. Jarak sosial terkait dengantingkat pengenalan partisipan terhadap partisipan lainnya, akrab atau memiliki jarak.
Peran, status, dan jarak sosial dapat bersifat sementara dan dapat pula permanen. Modus wacana (mode of discourse) merujukpada bagian bahasa yang sedang dimainkandalam situasi, termasuk saluranyang dipilih, apakah lisan atau tulisan. Untukmenganalisis modus, pertanyaan yangdapat diajukan adalah what s role assignedto language, yang mencakup lima hal, yakniperan bahasa, tipe interaksi, medium, saluran,dan modus retoris.
Peran bahasa terkait dengan kedudukan bahasa dalam aktivitas: bisa saja bahasa bersifat wajib (konstitutif) atau tidak wajib/penyokong/tambahan. Peran wajib terjadi apabila bahasa sebagai aktivitas keseluruhan. Peran tambahan terjadi apabila bahasa membantu aktivitas lainnya. Tipe interaksi merujuk pada jumlah pelaku: monologis atau dialogis. Medium terkait dengan sarana yang digunakan: lisan, tulisan, atau isyarat. Saluran berkaitan dengan bagaimana teks itu dapat diterima: fonis, grafis, atau visual. Modus retoris merujuk pada perasaan teks secara keseluruhan, yakni persuasif, kesastraan, akademis, edukatif, mantra, dan sebagainya.
2.2 Macam-macam Konteks
Konteks adalah sesuatu yang menyertai atau yang bersama teks. Secara garis besar, konteks wacana dibedakan atas dua kategori, yakni konteks linguistik dan konteks ekstralinguistik. Konteks linguistik adalah konteks yang berupa unsur-unsur bahasa. Konteks linguistik itu mencakup penyebutan depan, sifat kata kerja, kata kerja bantu, dan proposisi positif
Di samping konteks ada juga koteks. Koteks adalah teks yang berhubungan dengan sebuah teks yang lain. Koteks dapat pula berupa unsur teks dalam sebuah teks. Wujud koteks bermacam-macam, dapat berupa kalimat, paragraf, dan bahkan wacana.
Konteks ekstralinguistik adalah konteks yang bukan berupa unsur-unsur bahasa. Konteks ekstralinguistik itu mencakup praanggapan, partisipan, topik atau kerangka topik, latar, saluran, dan kode. Partisipan adalah pelaku atau orang yang berpartisipasi dalam peristiwa komunikasi berbahasa. Partisipan mencakup penutur, mitra tutur. dan pendengar. Latar adalah tempat dan waktu serta peristiwa beradanya komunikasi. Saluran adalah ragam bahasa dan sarana yang digunakan dalam penggunaan wacana. Kode adalah bahasa atau dialek yang digunakan dalam wacana.
Dalam menganalisis wancana sasaran utamanya bukan pada struktur kalimat tetapi pada status dan nilai fungsional kalimat dalam konteks, baik itu konteks linguistik ataupun konteks ekstralinguistik.
Tiga manfaat konteks dalam analisis wancana.
  1. Penggunaan konteks untuk mencari acuan, yaitu pembentukan acuan berdasarkan konteks linguistik.
  2. Penggunaan konteks untuk menentukan maksud tuturan, yaitu bahwa maksud sebuah tuturan ditentukan oleh konteks wancana.
  3. Penggunaan konteks untuk mencari bentuk tak terujar yaitu bentuk yang memiliki unsur tak terujar atau bentuk eliptis adalah bentuk yang hanya dapat ditentukan berdasarkan konteks.
Jufri (2008: 22) menjelaskan bahwa konteks dalam analisis wacana kritis dipandang perlu mengkaji tentang latar, situasi, peristiwa, dan kondisi. Dalam perpektif kritis wacana dipahami sebagai penggunaan bahasa sebagai praktek sosial. Wacana harus dipahamai dari tiga dimensi kewacanaan secara simultan, wacana, teks, dan praktek sosial kultural.
Fairclough (Jufri, 2008: 22) berpandangan bahwa dimensi kewacanaan secara simultan, seperti dimensi teks meliputi bahasa lisan dan Tulisan dimensi praktek wacana yang berkaitan dengan produksi dan interpretasi teks, dan dimensi praktek sosial kultural yang berkaitan dengan perubahan aspek sosial masyarakat, intitusi, dan kebudayaan turut menentukan bentuk dan makna sebuah wacana.
Dalam pemahaman teks dapat dipertimbangkan faktor historisnya karena wacana diproduksi dalam konteks tertentu. Oleh karena itu, untuk memahamai teks tersebut yang terpenting perlu diperhatikan adalah konteks historis tertentu. Pemahaman wacana dapat diperoleh apabila kalau kita dapat memahami konteks historis di tempat teks tersebut diproduksi. (Jufri, 2008: 23)

4. Pandangan tentang Teks adalah Proses Sosiosemantis
Halliday (dalam Santoso, 2008) berpendapat bahwa sebuah teks merupakan sebuah peristiwa sosiologis, sebuah perjumpaan semiotis melalui makna-makna yang berupa sistem sosial yang sedang saling dipertukarkan. Anggota masyarakat adalah seorang pemakna. Dalam pertukaran makna itu, terjadi perjuangan semantis (semantic contest) antara individu-individu yang terlibat. Karena sifatnya yang perjuangan itu, makna akan selalu bersifat ganda, tidak ada makna yang bersifat tunggal begitu saja. Dengan demikian, pilihan bahasa pada hakikatnya adalah perjuangan atau pertarungan untuk memilih kode-kode bahasa tertentu.
Jejak pandangan Halliday tersebut dapat dilacak pada pandangan Menz dan Birch tentang pilihan bahasa. Menurut mereka, makna dan nilai dari pilihan bahasa bukan menjadi milik individu yang unik, tetapi diproduksi dalam perjuangan atau perebutan komunikatif (communicative struggle) dan interaksi aktual yang ditentukan secara ideologis dan dimotivasi secara politis. Merujuk pada pandangan ini, aktor yang memproduksi teks bukanlah individu yang merdeka , tetapi ia merupakan individu yang diatur oleh dimensidimensi sosiokultural dan institusional yang determinatif. Individu-individu sering berada di bawah kesadaran dalam melakukan pilihan bahasa itu.
Senada dengan pandangan Menz, menurut Birch (dalam Santoso, 2008), pilihan bahasa dibuat menurut seperangkat kendala (constraints) politis, sosial, kultural, dan ideologi. Ada kekuatan di luar individu yang ikut menentukan bentuk bahasa tertentu yang akan digunakan.
Hal itu sering terjadi secara bawah sadar. Implikasinya adalah bahwa masyarakat dapat dimanipulasi, dikehendaki dalam aturan yang baik (good order), dan dinilai peran dan status bawahan serta atasan (inferior-superior) melalui sistem strategi sosial yang melibatkan aspek-aspek: kuasa, aturan, subordinasi, solidaritas, kohesi, antagonisme, kesenangan, dan sebagainya yang semuanya merupakan bagian integral dari kontrol terhadap masyarakat.
Konsep sosiosemantis di atas juga dapat dilacak pada pandangan Fowler (dalam Santoso, 2008) tentang ketidaknetralan kode kebahasaan karena menjalankan fungsi representasi. Kode kebahasaan atau lingual tidak merefleksikan realitas secara netral. Kode lingual itu menafsirkan, mengorganisasikan, dan mengklasifikasikan subjek-subjek wacana.
Wacana tertentu selalu membentuk teori tentang bagaimana dunia itu disusun. Hal itulah yang disebut pandangan dunia atau ideologi . Bahasa tidak hanya sebagai pengetahuan yang internal dan pasif. Sebaliknya, bahasa adalah aktivitas yang dibawa dalam berbicara, menyimak, menulis, dan membaca yang aktual dan intensif setiap hari. Dalam konteks itu, peringatan Fowler perlu dicamkan, yakni akal sehat itu bukan se-suatu yang alamiah, tetapi produk dari konvensi sosial . Oleh karena itu, akal sehat itu perlu dikritisi.
Makna sosial dihasilkan dari konstruksi sosial realitas. Yang menjadi persoalan adalah ketika berhadapan dengan kata-kata yang mengandung makna sosial itu banyak anggota masyarakat menyikapinya sebagai kata yang mengandung makna alamiah sehingga kata-kata tersebut dianggap sebagai sesuatu yang berupa akal sehat. Dalam persoalan ini, Fowler (dalam Santoso, 2008) menegaskan bahwa bahasa-bahasa itu beragam dalam mengodekan makna, bahkan dalam menganggap sebuah area dasar dan strukturstruktur pengalaman. Hal tersebut sesuai dengan rumusan Halliday bahwa bahasa melayani ekspresi, bahasa memiliki representasi, atau bahasa memiliki fungsi ideasional tempat penutur atau penulis mewujudkan pengalaman dari dunia nyata ke dalam bahasa. Pengalaman manusia, apa yang kita ketahui, dan apa yang kita butuhkan selain sudah dikodekan dalam sumber makna yang bersifat personal, juga produk dari posisi kita dalam relasi-relasi sosioekonomis.
Fowler (dalam Santoso, 2008) selalu mempertahankan tesisnya bahwa teks merupakan realisasi sebuah modus wacana, biasanya lebih dari satu modus. Sebuah teks bukan hanya karya individual. Teks yang dihasilkan oleh penghasil teks sebagai individu bukanlah hasil dari keseluruhan individu itu. Teks yang dihasilkan mungkin saja berasal dari wacana praada (baca: sebelumnya) yang itu semua berakar pada kondisi-kondisi sosial, ekonomi, politis, dan ideologis yang terletak jauh di balik kesadaran dan kontrol penghasil teksnya. Sebuah teks yang lahir mungkin saja hasil dari suatu perjuangan di antara banyak tangan penghasil wacana itu.
Dengan demikian, kajian bahasa hakikatnya adalah kajian kewacanaan yang bersifat historis. Sistem bahasa merupakan bagian yang integral dari struktur dan proses sosial. Sebuah wacana tidak dapat terlepas dari dimensi kesejarahan. Sebuah tuturan politik oleh seorang pemimpin partai, misalnya, bukanlah teks yang vakum sosial.
Sebaliknya, teks tuturan itu dibentuk oleh sebuah proses yang rumit dan panjang dalam pertarungan sosial. Banyak tangan yang ikut campur menentukan bentuk dan isi teksturnya. Kajian terhadap teks-teks bahasa bukan semata-mata untuk kajian teks itu sendiri yang amat terbatas. Akan tetapi, kajian teks adalah kajian kewacanaan yang bersifat sosiosemantis dengan mengikutsertakan dimensi kritis, yakni politis, ideologis, dan kultural tentang bagaimana masyarakat dan institusi membuat makna melalui teks.

5. Pandangan tentang Kesatuan Teks dengan Konteksnya
Halliday mengemukakan bahwa teks itu selalu dilingkupi konteks situasi dan konteks budaya (dalam Santoso, 2008). Konteks situasi adalah keseluruhan lingkungan, baik lingkungan tutur (verbal) maupun lingkungan tempat teks itu diproduksi (diucapkan atau ditulis). Di atas konteks situasi terdapat konteks budaya yang melingkupi teks dan konteks situasi. Untuk memahami teks dengan sebaik-baiknya, diperlukan pemahaman terhadap konteks situasi dan konteks budaya.
Jejak Halliday tersebut dapat ditemukan dalam pandangan Fowler (1986:70) bahwa satuan bahasa dalam penggunaan yang nyata lebih dari sekadar sebuah teks yang dibangun bersama-sama dengan konvensi dasarnya, tetapi lebih banyak berupa wacana dari yang sudah dilahirkannya itu. Fowler membedakan konsep teks dan wacana. Wacana dibangun dari teks dan konteks. Untuk melihat bahasa sebagai teks membawa kita kepada kajian keseluruhan unit-unit komunikasi yang dilihat sebagai struktur sintaksis dan semantik yang koheren yang dapat diucapkan atau ditulis.
Dalam pandangan kritis, teks dipandang secara dinamis sebagai komunikasi interpersonal dalam konteks. Dengan demikian, teks dapat dipandang sebagai medium wacana. Untuk melihat bahasa sebagai wacana membawa kita kepada keseluruhan proses interaksi lingual yang rumit antara masyarakat yang menghasilkan dan masyarakat yang memahami teks.