Rabu, 22 Desember 2010

CERPEN CINTA DI ATAS PERAHU CADIK: KAJIAN TEORI VAN DIJK (Short Story Cinta di Atas Perahu Cadik: Analysis of Van Dijk Theory)


Abd. Rasyid
Balai Bahasa Ujung Pandang
1.      Pendahuluan
Fakta imajnasi karya sastra adalah refleksi masyarakat (Tang, 2006) Fenomena yang berkaitan dengan kejadian atau peristiwa di dalam masyarakat, diangkat menjadi sebuah cerita, yang diramu, dengan gaya tulisan seindah mungkin. Kenyataan yang ada pada masyarakat dijadikan acuan untuk membuat cerita yang bersifat imajinatif.  Pada dasarnya, karya sastra merupakan hasil karya anak manusia yang kemungkinan kebenaran ceritanya tak dapat diyakini secara nyata. Akan tetapi, apa yang tampak dalam sebuah cerita bukanlah sepenuhnya imajinati belaka.
Beragam karya sastra telah dikenal oleh para penikmat sastra muapun bukan. Di antaranya, novel, puisi, cerpen, dan roman. Karya sastra berupa novel maupun roman hampir memiliki kesamaan. Hal ini dilihat dari struktur penceritaannya yang panjang dengan berbagai konflik dan solusinya. Puisi, merupakan karya sastra yang indah, disusun dengan kata-kata yang indah dan lebih banyak menggunakan simbol-simbol untuk memaknai sesuatu sehingga para penikmat puisi kadangkala tidak dapat memaknai isi puisi yang terkandung. Hal ini diperlukan kejelian perasaan. Sedangkan cerpen, merupakan salah satu karya sastra yang  paling sering ditulis, karena kemampuan berceritanya terbatas pada struktur cerita yang pendek, tidak memerlukan banyak konflik, tokoh dan lainnya, serta bahasa yang digunakan juga tergolong sangatlah sederhana akan tetapi banyak diminati masyarakat.
Baik cerpen maupun puisi, bisa dinikmati oleh pembaca di mana saja. Berbagai media menampilkan karya sastra ini. Misalnya, dimedia elektronik, dapat ditemukan di internet yang memuat banyak cerpen dan puisi yang siapa saja boleh membacanya. Di media cetak, surat kabar, pembaca juga mudah menemukannya karena setiap surat kabar lokal maupun nasional akan menampilkan kedua karya sastra tersebut pada edisi tertentu.
Terkait hal tersebut, dalam pembicaraan ini, akan mencoba menganalisis sebuah karya sastra cerpen yang diperoleh dari media cetak dengan menggunakan pendekatan atau teori Van Dijk. Namun, pendekatan yan dipakai berbeda sebelumnya karena menggunakan konteks atau medan analisis wacana kritis. Cerpen dipandang sebagai wacana kritis yang memiliki keunikan tersendiri untuk dikaji lebih dalam.
Sehubungan dengan wacana kritis, karya sastra cerpen dipandang dalam medan tersebut karena diangap dapat mengungkap berbagai peristiwa yang bisa memengaruhi pemikiran pembaca. Di dalamnya memuat suatu ideologi yang dapat membuat pembaca merasa yakin dan memandang cerpen sebagai hal yang layak dikatakan wacana kritis. Seperti pernyataan Suparno dalam Jufri (2006) tindakan pada hakikatnya untuk memahami suatu wacana yang dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan, apakah itu mempengaruhi, berdebat, membujuk, menanggapi, menyarankan, memperjuangkan dan sebagainya. Wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar dan terkontrol, bukan sesuatu yang di luar kesadaran.  Dengan kosep tersebut, wacana dipahami sebagai suatu bentuk   interaksi. Penulis menggunakan bahasa untuk berinteraksi dengan pembaca atau mitra tutur.
Cerpen yang di dalamnya memuat peristiwa, latar, amanat, partisipan, dan sebagainya sangatlah relevan jika dikaji dengan analisis wacana kritis tersebut. Sebagaimana dikatakan analisis wacana kritis dipandang perlu mengkaji tentang latar, situasi, peristiwa, dan kondisi. Kajian kewacanaan yang berhubungan hal itu meliputi topik, partisipan, waktu, tempat,  situasi, komunikasi, kode, situasi komunikasi, budaya atau adat istiadat berkomunikasi (Suparno, 2001).
Kajian analisis wacana yang tepat digunakan dalam menganalisis cerpen adalah model Van Dijk yang memuat struktur makro, super struktur, dan struktur mikro. Elemen-elemen yang dimiliki Van Dijk akan dieksplanasi secermat mungkin untuk memperoleh hasil kajian yang bagus.
Cinta di Atas Perahu Cadik (CDPC) adalah judul cerpen yang bercerita tentang seorang wanita bersuami dan pria beristri menjalin hubungan mesra karena saling mencintai kemudian bercinta di atas perahu. Hal ini terkait dengan peran seorang wanita yang seharusnya mengabdi pada suami justru ke pelukan pria lain. Dari segi sastra budaya, kejadian seperti ini sering terjadi sehingga menggeser peran dan citra wanita, yang semestinya berada dalam tataran terhormat.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa menggunakan model Van Dijk dapat mengungkapkan berbagai perspektif berbeda dalam kajian tersebut.

2.      Kerangka Teori
Model analisis wacana yang berkembang dan diperkenalkan oleh para ahli. Di antaranya adalah teori Van Dijk yang paling sering digunakan. Mungkin karena Van Dijk mengelaborasi elemen-elemen wacana sehingga bias diaplikasikan secara praktis. Hal ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa untuk menjelaskan struktur dan proses terbentuknya suatu teks, tidak cukup hanya didasarkan pada analisis atas teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati (Eriyanto, 2001: 221).
Wacana merujuk kepada pemakaian bahasa tertulis dan ucapan tidak hanya dari aspek kebahasaannya saja melainkan juga bagaimana bahasa itu diproduksi dan ideologi di baliknya. Memandang bahasa semacam ini berarti meletakkan bahasa sebagai bentuk praktik sosial. Bahasa adalah sutu bentuk tindakan, cara bertindak tertentu dalam hubungannya dengan realitas sosial (Eriyanto, 2000:6). Atau meminjam ungkapan Peter dan Thomas, bahasa tidak hanya mampu untuk membangun simbol-simbol yang sangat diapstraksikan daripengalaman sehari-hari, melainkan juga untuk mengembalikan simbol-simbol itu dan menghadirkannya sebagai unsur-unsur yang objektif nyata dalam kehidupan sehari-hari. Dengan cara ini, simbolisme dan bahasa simbolik menjadi unsur-unsur esensial dari kenyataan hidup sehari-hari dan untuk pemahaman akal sehat mengenai kenyataan ini.
Kajian wacana kritis bukan hanya terbatas pada struktur dan proses terbentuknya teks wacana itu saja, melainkan semua teks selalu terkandung ideologi. Ideologi tersebut tercermin dari pemakaian kosakata, kalimat, dan tata bahasa tertentu. Berdasarkan asumsi tersebut, maka Van Dijk membuat kerangka analisis wacana yang dapat didayagunakan. Ia melihat suatu wacana terdiri atas berbagai struktur/tinkatan, yang masing-masing bagian saling mendukung, Van Dijk membaginya ke dalam tiga tingkatan, yaitu 1) struktur makro, 2) superstruktur, dan 3) struktur mikro.
Menurut Van Dijk, struktur makro merupakan makna global/umum dari suatu teks yang dapat dipahami dengan melihat topik dari suatu teks. Tema wacana ini bukan hanya isi, tetapi juga sisi tertentu dari suatu peristiwa. Dari topik, seseorang bisa menetahui masalah dan tindakan yang dialami oleh komunikator dalam mengatasi masalah tersebut. Tindakan, pendapat, keputusan dapat diamati pada struktur makro suatu wacana. Misalnya, apa yang dilakukan, pembuatan keputusan/kebijakan, mengontrol atau melawan oposisi dan sebagainya (Sobur, 2003).
Superstruktur adalah kerangka sutu teks: bagaimana struktur elemen wacana itu disusun dalam teks secara utuh yang bersifat skematik (alur) yang terdiri atas pendahuluan, isi, dan akhir suatu wacana.
Struktur mikro adalahmkna wacana yang dapat diamati dengan menganalisis pilihan kata, kalimat, preposisi, anak kalimat, gaya yang digunakan individu dan komunitas tertentu dikategorikan Van Dijk sebagai sesuatu yang bersifat kongkret.
Kerangka wacana Van Dijk merupakan bagian integral yang saling mendukung yang memuat struktur wacana (teks), kognisi sosial, dan konteks sosial Menurut Van Dijk, kognisi sosial merupakan  cara pandang seseorang dan suatu komunitas tertentu, dan pengetahuan untuk dapat memahami suatu peristiwa yang melahirkan  produksi wacana berdasarkan reperensentasi mentalnya. Sedangkan konteks sosial dikaitkan bagaimana pengetahuan dan pandangan seseorang yan disampaikan dalam situasi tertentu. Lebihlanjut, dinyatakan pilihan kata, dan kalimat dipandang sebagai suatu cara untuk mempengaruhi pendapat umum, menciptakan dukungan, mempertahankan legitimasi dan memarjinalkan komunitas yang lain. Di dalamnya memuat suatu informasi tertentu yang bersifat ideologis (Jufri, 2006).

3.      Metode
Metode kajian atau penelitian yang dipakai adalah metode deskripsi sinkronis dengan pendekatan sosiologi sastra. Pemilihan pendekatan itu berdasarkan pandangan bahwa realitas cinta berapa imajinasi, adalah menjadi dan gejala sosial yang sebenarnya. Kemudian pandangan Live Strauss (dalam Suharno, 1978:2) menyatakan bahwa telaah kebudayaan termasuk sastra tidak bisa melepaskan diri dari telaah bahasa begitu pula sebaliknya.

4. Pembahasan
4.1 Kajian Struktur Makro Cinta di Atas Perahu Cadik
            Secara struktural struktur makro yang terdapat dalam cerpen Cinta di tas Perahu Cadik, memiliki skema atau alur yang terdiri atas awal, isi,dan akhir. Pada bagian awal cerita, dikisahkan, pada pagi buta, Hayati dengan berlari-lari kecil menyusuri bibir pantai. Di sana, menunggu seorang pria di atas perahu yang menyambutnya dengan wajah cerah. Keduanya saling mengumbar senyuman ceria yang penuh makna. Pada bagian tengah cerita, dikisahkan kepergian Hayati dan Sukap dengan perahu cadiknya mengundang pembicaraanma syarakat nelayan di bibir pantai tersebut. Sebagian besar, nelayan melihat kebahagiaan yang dirasakan oleh keduanya di atas perahunya, ditandai dengan adanya saling menyuapi makanan dan tertawa-tawa seolah tanpa beban. Hingga akhirnya tak diketahui kabar keduanya, yang dianggap sebagai manusia yang akan mendapat kutukan dari alam karena telah bercinta di atas perahu. Pada bagian akhir cerita, dikisahkan, bahwa hari ketujuh kepergiannya, keduanya kembali dengan kondisi yang sangat buruk. Sukab yang tak berdaya. Hayati dengan tubuh kurus. Sekembalinya mereka sadar bahwa akan terjadi perceraian di antara pasangannya masing-masing. Namun, kedua mata yang saling memandang di atas perahu di bibir pantai menunjuk kan bahagia yang luar biasa.
4.1.1Bagian Awal
Pada bagian awal cerita, ada beberapa tema yang dapat diperoleh dari peristiwa trsebut, yaitu 1) kekuatan cinta mengalahkan segala-galanya, 2) kerelaan suami atas istrinya selingkuh.
a. Nafsu dan Kekuatan Cinta
Hayati masih menuruni tebing setengah berlari dengan pikulan air pada bahunya. Kakinya yang telanjang bagaikan mempunyai alat perekat, melangkah di atas batu-batu hitam berlumut tanpa pemah terpeleset sama sekali, sekaligus bagaikan terlapis karet atau plastik alas sepatu karena seolah tidak berasa sedikitpun juga  ketika menapak di atas batu-batu karang yang tajam tiada berperi.
Ketika seorang laki-laki telah memanggilnya agar mempercepat langkahnya dan segara menghampiri perahu yang akan menjadi saksi cintanya kelak. Dengan semangat penuh, Hayati berlari begitu cepat, seolah-olah beban di bahunya yang memikul air tidak mempunyai arti sama sekali. Lidah-lidah ombak berkecipak dalam laju lari Hayati. Wajahnya begitu cerah menembus angin yang selalu ribut, yang selalu memberi kesan betapa sesuatu akan terjadi.
Berdasarkan hasil analisis di atas, ditemukan bahwa Hayati adalah wanita kuat, karena cinta yang begitu menggelora di dadanya sehingga tidak merasakan apa-apa lagi ketika bertelanjang kaki menuruni tebing batu-batuan terjal dengan memikul air di bahunya menembus pagi menyambut cintanya yang ada di atas perahu.
b. Ketidakberdayaan
Perahu Sukab melaju ke tengah laut. Seorang lelaki muncul dari dalam gubuk dan dengan tenang menanyakan pada seorang nenek tua, akan ke mana Hayati bersama Sukab. Ketika si nenek tua menjawab bahwa istrinya lari bersama suami orang lain, lelaki tersebut hanya tertawa dan tersenyum tenang. Tak ada kemarahan di dalamnya. Bahkan ketika si nenek tua menganjurkan agar mencabut badik membunuh keduanya, lelaki itu hanya menggeleng-geleng kepala. Dia sudah merelakan Hayati bersama Sukab. Karena kebahagian istrinya terletak di sana. Di atas perahu cadik bersama Sukab.
Berdasarkan hasil analisis di atas, ditemukan bahwa seorang suami yang merelakan istrinya pergi dengan lelaki lain demi kebahagiaan istrinya. Sangat idealis sekali, bahwa sesuatu yang akan sangat jarang dilakukan masyarakat kita, bahwa wanita bersuami pergi dengan pria beristri mendapat restu dari pasangan masing-masing.
4.1.2 Bagian Tengah
Pada bagian tengah cerita, ada beberapa hal yang ditemukan, yaitu 1) cinta keduanya terkutuk, 2) kerelaan seorang istri pada suaminya.
a. Cinta Terhormat
Kepergian Hayati dan Sukab menimbulkan pembicaraan di antara masyarakat nelayan. Mereka melihat percintaan antara Hayati dan Sukab di atas perahu cadik yang nampak bahagia. Saling tertawa bahagia dan saling menyuapi. Namun, beberapa nelayan mengatakan kalau cinta mereka terlarang hingga pada suatu waktu nelayan tak melihat seorang pun di atas perahu tersebut. Mereka dikutuk oleh alam. Bermain cinta di atas perahu. Perbuatan yang mengundang kutukan. Alam tidak akan pernah keliru. Hanya para pendosa akan menjadi korban kutukannya.
Berdasarkan hasil analisis di atas, maka dapat disimpulkan bahwa cinta yang membara yang diperturutkan oleh nafsu apalagi sudah terikat masing-masing satu ikatan. Berkeluarga karena nantinya akan membawa malapetaka bagidiri sendiri seperti yang digambarkan dalam cerita tersebut.
b. Kepasrahan Istri
Kepergian suaminya membuat terpukul, bukan berarti dia harus bertindak bodoh seperti yang dikatakan oleh nenek tua itu. Dengan ikhlas , dia memasrahkan, merelakan suaminya pergi dengan Hayati karena saling mencintai. Kalau mereka kembali, masih bisa disahkan dengan sebuah ikatan perkawinan. Meskipun dia orang kampung, tapi dia bukan orang kampungan dengan mengumbar amarah menggebu-gebu. Melalui perceraian, agama telah memberi jalan bagi mereka untuk mempermudah ssemuanya. Sungguh sebuah perkataan yang bijak dari seorang wanita yang tak berpendidikan.
Berdasarkan analisis di atas, dapat dikatakan bahwa emosi jangan diperturutkan dalam mengambil keputusan. Harus arif atau bijak memakai problema hidup dan kehidupan.
4.1.3 Bagian Akhir
Pada bagian akhir cerita seperti dikisahkan bahwa keduanya kembali dengan keadaan yang sangat buruk, tapi masih dengan cinta yang membaca dalam diri mereka. Betapa bukan urusan siapa pun mereka telah bercinta di atas Perahu Cadik dengan ikan dan laut sebagai saksi cinta mereka.
Berdasarkan analisis data di atas, maka dapat disimpulkan hal yang menjadi tema sentral dalam cerita tersebut adalah munculnya ideologi kutural negatif, yakni perbuatan dosa akan selalu mendapat karma dari alam. Hal itu dibuktikan dengan banyak pernyataan bahwa bermain cinta di atas Perahu Cadik yang ditumpangi Sukab dan Hayati akan menimbulkan kemarahan alam. Akan tetapi, ideologi kultural positif yang muncul adalah bahwa betapa cinta yang membara tak mempedulikan semuanya.
4.2 Struktur Mikro Cerpen Cinta di Atas Perahu Cadik
4.2.1 Representasi Ideologi Kultural dalam Tampilan Tokoh
Pelaku atau pemain adalah orang yang melakukan perbuatan atau tindakan dalam situasi tertentu dalam sebuah wacana. Jufri: 2006). Pelaku dalam cerita CDPC adalah 1) Hayati, 2) Sukab, 3) Dullah, 4) Waleh, 5) nenek tua, dan 6) nelayan. Gambaran pelaku dapat diperhatikan sebagai berikut.
Hayati dan Sukab merupakan pelaku utama dalam wacana CDPC digambarkan  kepergian Hayati bersama Sukab pada pagi buta dengan meninggalkan pasangannya masing-masing demi cinta membara dalam dirinya. Mereka tidak berpikir konsekuensi yang diperolehnya,  kebagiaan diri masih lebih dipentingkan. Tidak dipedulikan semua perkataan orang-orang. Kekuatan cinta lebih dari segalanya, meskipun nyawa taruhannya. Data liguistik dalam wacana CDPC adalah sebagai berikut.
1.      Hayati masih terus menuruni tebing setengah berlari dengan pikulan air pada bahunya. Kakinya yang telanjang bagaikan mempunyai alat perekat, melangkah di batu-batu hitam berlumut tanpa pernah terpeleset sama sekali, sekaligus bagaikan terlapis karet atau plastik alas sepatu karena seolah tidak berasa sedikit pun juga ketika menapak di batu-batu karang yang tajam tiada berperi.
2.      Laidah-lidah ombak berkecipak dalam laju lari Hayati. Wajahnya begitu cerah menembus angin yang selalu ribut, yang selalu memberi kesan betapa sesuatu akan terjadi. Seekor anjing juga bangkit dari lamunannya yang panjang, lantas melangkah ringan sepanjang pantai yang pada pagi itu baru memperlihatkan jejak-jejak kaki Sukab dan Hayati. Perahu Sukab melaju ke tengah laut.
Berdasarkan data di atas, maka tampilan pelaku Hayati sebagai pelaku utama dicirikan sebagai orang yang tak mengikuti sistem struktur sosial. Tidak mengindahkan akan adanya hukum karma/alam. Dikatakan bahwa, masyarakat masih memiliki fungsi dalam kehidupannya dan setiap orang harus mematuhi sistem tersebut, jika tidak ingin mendapat hukum alam dari pencipta. Perbuatan yang dilakukan Hayati dan Sukab sangat melanggar hukum alam, karena status keduanya telah berkeluarga. Tidak sepantasnya pergi tanpa adanya ikatan di antara keduanya. Hal ini akan mengundang gunjingan banyak orang dan menyebabkan malapetaka.
Dalam trdisi masyarakat kampung bahwa seseorang yang melakukan perbuatan zina seperti itu akan dirajam atau setidaknya alam yang menghukumnya. Ideologi cultural yang dikonstruksi dari wacana CDPC adalah hukum alam yang masih dipercayai kekuatannya.
Data linguistik lain yang mendukung ideologi kultural tersebut adalah

Bermain cinta di atas perahu! Perbuatan yang mengundang kutukan!
Aku hanya mau bukti kalau menantuku mati karena pergi dengan lelaki yang bukan suaminya dan bermain cinta di atas perahu! Alam tidak akan pernah keliru! Hanya para pendosa yang akan menjadi korban kutukannya.   

Dalam sistem masyarakat, berselingkuh merupakan perbuatan haram. Apalagi sampai melakukan hubungan intim.. Dikatakan mengandung ideologi kultural karena merupakan perspiktif masyarakat tentang suatu tradisi atau budaya yang harus dijunjung tinggi.
Tampilan aktor lain adalah kehadiran Dullah dan Waleh yang masing-masing merelakan pasangannya pergi bersama demi kebahagiaan yang akan diraihnya nanti. Tak peduli apa tanggapan masyarakat. Lebih menarik lagi, meskipun keduanya tak berpendidikan atau hanya masyarakat yang dibesarkan dipenggiran pantai, mereka mampu berpkiran bijak dalam mengambil keputusan. Jadi, tanggapan orang-orang yang menganggap bahwa hanya orang-orang yang berpendidikanlah yang bisa memutuskan sesuatu dengan kepala dingin itu salah. Tanggapan lain adalah bahwa masyarakat yang tinggal di pinggiran pantai, selalu dipenuhi dengan emosi yang besar tanpa berpikir panjang. Akan tetapi, karakter yang digambarkan oleh pengarang dalam CDPC itu mengambarkan bahwa perspektif  orang-orang terhadap masyarakat pantai golongan rendah itu salah. Justru berlawanan, keduanya memiliki karakter lembut dan sabar, serta bijaksana. Data linguistik yang mendukung terbentuknya ideologi kultural tersebut meliput sebagai berikut.
1.      Hayati dan Sukab saling mencintai, kami akan bercerai dan biarlah dia bahagia menikahi Sukab, aku juga sudah bicara kepadanya. Nenek yang sudah bungkuk itu mengibaskan tangan. Dullah! Dullah! Suami lain sudah mencabut badik dan mengeluarkan usus Sukab si jahannam itu! Lelaki yang agaknya bernama Dullah itu masuk kembali, masih terdengar suaranya tertawa dari dalam gubuk. Cabut badik?Hehehehe. Itu sudah tak musim lagi Mak! Lebih baik aku cari istri lain! Tapi aku lebih suka nonto tivi.
2.      Aku memang hanya orang kampung ibu, tapi aku tidak mau menjadi orang kampungan yang mengumbar amarah menggebu-gebu. Kudoakan suamiku selamat dan jika dia bahagia bersama Hayati, melalui perceraian, agama kita telah memberi jalan agar mereka dikukuhkan.
Tampilan aktor nenek tua dalam wacana CPDC  juga sangat mendukung terbentuknya ideologi kultural. Dalam hal ini, peran yang membantu bahwa nenek tua sangat tidak setuju dengan kepergian Sukab dan Hayati. Keduanya dinggap pendosa yang akan menerima ganjarannya. Karakter yang dimilikinya sangat keras, tapi tidak mampu mempengaruhi pikiran-pikiran orang-orang yang masih memiliki nurani. Di sini saya sebutkan sebagai orang yang memiliki nurani karena mampu mengatasi masalah dengan kepala dingin tanpa emosi seperti yang dilakukan oleh nenek tua. Meskipun pengarang berusaha menampilkan tokoh Dullah dan Waleh yang bersifat sabar dan bijaksana dengan membentuk pandangan masyarakat lain terhadap masyarakat di pinggiran pantai cenderung keras. Namun, pengarang juga menampilkan tokoh yang justru menguatkan pandangannya itu. Jadi, pengarang menampilkan 2 karakter yang saling berlawanan tapi saling mendukung. Data linguistik yang mendukung adalah sebagai berikut.
1.      Pergi bersama Sukab tentunya! Kejar sana ke tengah laut! Lelaki apa kau ini! Sudah tahu istri dibawa orang bukannya mengamuk malah merestui!
2.      Nenek itu memaki. Istri orang di perahu suami orang. Keterlaluan.
3.      Dulu suamiku pergi ke kota dengan Wiji, begitu pulang kujambak rambutnya dan kuseret di sepajang pantai, dan suamiku masuk rumah sakit karena badik suami Wiji.
Berdasarkan data di atas, maka ditemukan bahwa perspektif orang-orang tentang arti sebuah perselingkuhan berbeda-beda. Nenek tua itu menganggap bahwa tidak ada yang namanya cinta untuk orang lain jika masing-masing sudah terikat oleh ikatan tali suami istri. Namun, pandangan lain justru mengatakan sebaliknya seperti apa yang ditampilkan pengarang dalam karakter Dullah dan Welah yang memaklumi cinta Sukab dan Hayati murni. Bukan sekadar perselingkuhan.
Tampilan aktor lain yang mendukung wacana CPDC adalah masyarakat nelayan. Banyak pandangan yang dibentuk mereka sendiri disimpulkan bahwa sebagian masyarakat nelayan yang tergolong rendah pendidikannya akan menangapi sebuah masalah dengan biasa-biasa saja. Seperti data linguistik sebagai berikut.
1.      Kulihat perahu Sukab menyalipku dengan Hayati di atasnya. Kulihat mereka tertawa-tawa.
2.      Perahu Sukab menyalipku, kulihat Hayati menyuapi Sukab dengan nasi kuning dan mereka nampaknya sangat bahagia.
3.      Kulihat perahu berlayar kumal itu menuruti angin, mesinnya sudah mati, tetapi tidak tampak seorang pun di atasnya.
4.      Aku lihat perahunya, tetapi tidak seorang pun di atasnya.
5.      Aku orang terakhir yang melihat Sukab dan Hayati di kejauhan, perahu mereka jauh melewati batas pencarian ikan kita.
6.      Apakah mereka bercinta di atas perahu?
7.      Saat kulihat tentu tidak, banyak lumba-lumba melompat di samping perahu mereka.
Berasarkan pemerian data di atas ditemukan bahwa yang menjadi pusat perhatian dalam wacana CDPC adalah kepergian Hayati dan Sukab yang mendukung pro kontra  di berbagai kalangan. Pengarang juga berusaha mengemas sebagus mungkin agar perspektif masyarakat tentang arti sebuah perselingkuhan, hendaknya jangan dipandang dari satu sisi negatif saja, tapi dengan melihat sisi positifnya juga. Meskipun hal trsebut  dianggap suatu dosa besar. Namun pengarang hanya berusaha mengkonstruksikan pandangan baru tentang ideologi kultural yang berkembang selama ini, bahwa alam akan bertindak bagi pendosa. Namun, karena di sini perbuatan yang dilakukan Sukab dan Hayati dianggap bukan dosa bagi si pengarang hingga menampilkan ragam pernyataan yang menguatkan itu.  Dipaparkan tentang sekembalinya Hayati dan Sukab dengan selamat dengan cinta yang membara, tidak membenarkan pernyataan bahwa alam tahu akan si pendosa. Jadi, ideologi kultural baru  muncul adalah bahwa cinta antara dua insan berbeda  yang sudah terikat bukanlah sebuah dosa. Pengarang seolah ingin mengubah perspektif orang dulu dengan sekarang.
4.2.2 Representasi Ideologi Kultural dalam Metafora
            Penciptaan metafora dalam setiap wacana selalu menjadi hal yang menarik karena dianggap dapat menjadikan wacana tersebut memiliki sisi keindahan yang lebih dibandingkan sebuah wacana yang tidak memiliki metafora. Metafora diartikan sebagai sebuah gaya bahasa yang mengandung kiasan atau ungkapan yang dapat mereprentasikan makna suatu teks. 
            Dalam wacana CDPC, terdapat beberapa metafora yang menimbulkan ideologi kultural dalam wacana CDPC. Berikut data linguistiknya.

1.      Cahaya keemasan matahari pagi menyapu pantai (personifikasi)
2.      Bulan sabit mereka hubung-hubungkan dengan perahu, gugusan bintang mereka hubung-hubungkan dengan cadik penyeimbang perahu, seolah-olah angkasa raya adalah ruang pelayaran.
3.      Lidah-lidah ombak berkecipak dalam laju lari Hayati (Personifikasi)
4.      Bermain cinta di atas perahu.
5.      Giginya tambah gemelutuk dalam perputaran roda-roda mesin malaria.
6.      Mayat Sukab dan Hayati tiba-tiba menggelinding dilemparkan ombak ke pantai (personifikasi).
7.      Perahu Sukab mendapat juga, Hayati melompat turun begitu lunas perahu menggeser bibir pantai.
8.      Kulit terbakar … mata keduanya menyala-nyala karena semangat hidup yang kuat dan api cinta yang membara.
Berdasarkan paparan data di atas, maka dapat diklasifikasikan makna yang terkandung dalam penciptaan metafora tersebut, 1) cahaya keemasan matahari pagi menyapu pantai merupakan gaya bahasa personifikasi yang menganggap sesuatu benda mati seolah-olah hidup. Kata menyapu bermakna aktivitas yang dilakukan oleh seseorang, tapi dalam cerita ini disandingkan dengan cahaya matahari padi yang seolah-olah manusia sedang menyapu pantai. Dalam arti sebenarnya bahwa cahaya matahari telah muncul, membuat situasi di pantai terang dan cerah ceria, 2)  bulan sabit diibaratkan perahu, gugusan bintang diibaratkan cadik, ruang angkasa diibaratkan pelayaran laut lepas. Ini berarti bahwa tokoh dalam cerpen tersebut memiliki daya khayal yang tinggi terhadap sesuatu. Ini digambarkan pengarang dalam penggambaran tokoh-tokohnya, 3) Lidah-lidah ombak berkecipak dalam laju lari Hayati. Merupakan istilah personifikasi yang mengandaikan sesuatu benda mati seolah-olah hidup. Ombak yang merupakan benda mati dibaratkan memiliki lidah yang hanya dimiliki oleh makhluk hidup untuk merasakan suatu rasa. Akan tetapi, yang dimaksud di sini adalah, ombak-ombak yang berdebur besar tak dipedulikan oleh Hayati, 4) Bermain cinta di atas perahu. Sebuah repetisi yang berulang kali muncul dalam wacana CDPC. Di sini dimaksudkan agar pengarang dapat lebih jelas menggambarkan makna yang sebenarnya dari isinya dengan menampilkan berulang kali kalimat tersebut , 5) Gigi gemeletuk dalam perputaran roda-roda mesin malaria. Bunyi gigi yang bergemelutuk diibaratkan sebuah perputaran roda-roda mesin malaria, padahal malaria tidak memiliki mesin. Pengadaian ini diberikan oleh pengarang untuk memperjelas makna bahwa betapa penyakit malaria begitu tersiksa untuk di jalanan melawan penyakit tersebut, 6) menggelinding dilemparkan ombak ke pantai. (personifiksi). Yang mampu melakukan aktivitas adalah makhluk hidup. Di sini, lagi-lagi pengarang mengandaikan bahwa ombak itu mampu melakukan apa saja. Pengarang menggambarkan bahwa ombak besar mampu melempar mayat keduanya hingga pinggiran pantai. Padahal sebenarnya, arus ombak yang besar mampu membawa mayat keduanya di mana pun arus itu membawanya, 7) perahu menggeser bibir pantai. Pantai tidak memiliki bibir. Tetapi bibir di sini adalah pinggiran, 8) mata keduanya menyala-nyala karena semangat hidup yang kuat dan api cinta yang membara. Dilambangkan bahwa semangat hidup dan kekuatan cinta yang besar mampu membuat sebuah kobaran api besar.
Berdasarkan hasil analisis data di atas, bahwa penciptaan metafora oleh pengarang CDPC dimaksudkan untuk membawa pembaca ke alam imajinatif yang dikaitkan dengan kenyataan. Pengarang ingin mengkonstruksikan suatu ideologi kepada pembaca tentang suatu kebenaran arti cinta sejati.

5. Penutup
            Berdasarkan pembahasan tentang analisis wacana kritis terhadap cerpen Cinta di Atas Perahu Cadik, maka dapat disimpulkan bahwa hakikat yang dikonstruksikan dalam edeologi kultural Cinta di Atas Perahu Cadik adalah kebenaran cinta sejati yang direpresentasikan dari penggunaan struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro pada teori Van Dijk.
            Superstruktur membentuk skematik yang runtut yang terdiri atas 1) bagian awal, 2) bagian tengah, 3) bagian akhir. Pada bagian awal cerita, ada beberapa tema yang dapat  diperoleh dari peristiwa tersebut, yaitu 1) kekuatan cinta mengalakan segala-galanya, 2) kerelaan suami atas istrinya selingkuh. Pada bagian tengah cerita, ada beberapa hal yang ditemukan, yaitu 1) cinta keduanya terkutuk, 2) kerelaan seorang istri pada suaminya. Pada bagian akhir cerita dikisahkan bahwa keduanya kembali masih dengan cinta yang membara. Hal yang menjadi tema sentral dalam cerita tersebut adalah munculnya ideologi kultural negatif, yakni perbuatan dosa akan selalu mendapat karma dari alam. Akan tetapi, ideologi kultural positif yang muncul adalah bahwa betapa cinta yang membara tak mempedulikan semuanya.
            Struktur mikro berupa tampilan aktor dan penciptaan metafora yang masing-masing memuat ideologi kultural tentang kebenaran cinta sejati, hal ini diungkapkan dalam penekanan pilihan kosakata, api cinta membara dan bermain cinta di atas perahu.
            Jadi, dapat disimpulkan bahwa apapun yang terkandung dalam suatu teks membuat sebuah idelogi yang akan mengubah perspektif masyarakat tentang suatu keadaan.      




DAFTAR PUSTAKA

Damono, Sapardi Djko. 1982. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Eriyanto. 2000. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yagyakarta: LKIS.

Faruk. 2008. Pascastrukturalisme Teori, Imfolokasi Metodologi, dan Contoh Analisis. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.

Jufri. 2006. ”Struktur Wacana Lontara La Galigo”.  Malang: Universitas Negeri Malang.

-----------. 2007. ”Analisis Wacana Kritis. Teori dan Praktik”. Tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang.

Kompas. Cinta di Atas Perahu Cadik Karya Seno Gumirah. Jakarta: Diterbitkan Minggu 10 Juni 2007.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sobur, Alex. 2006. Analisis Teks Media. Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Tang, Muhammad Rapi. 2006. Teori Sastra. Makassar: Universitas Negeri Makassar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar