Kamis, 23 Desember 2010

wacana sebagai teks dan konteks


1.  Pengertian teks
Sebuah teks adalah terdiri dari unit-unit bahasa dalam penggunaannya. Unit-unit bahasa tersebut adalah merupakan unit gramatikal seperti klausa atau kalimat namun tidak pula didefenisikan berdasarkan ukuran panjang kalimatnya. Teks terkadang pula digambarkan sebagai sejenis kalimat yang super yaitu sebuah unit gramatikal yang lebih panjang daripada sebuah kalimat yang saling berhubungan satu sama lain. Jadi sebuah teks terdiri dari beberapa kalimat sehingga hal itulah yang membedakannya dengan pengertian kalimat tunggal. Selain itu sebuah teks dianggap sebagai unit semantik yaitu unit bahasa yang berhubungan dengan bentuk maknanya. Dengan demikian teks itu dalam realisasinya berhubungan dengan klausa yaitu satuan bahasa yang terdiri atas subyek dan predikat dan apabila diberi intonasi final akan menjadi sebuah kalimat.  
Teks merujuk pada wujud kongkret penggunaan bahasa berupa untaian kalimat yang mengemban proposisi-proposisi tertentu sebagai suatu keutuhan. Menurut Fowler (Sugira Wahid dan Juanda, 2006: 77) wacana tentu saja berbeda dengan teks, sebab wacana merujuk pada kompleksitas aspek yang terbentuk oleh interaksi antara aspek kebahasaan sebagaimana terwujud dalam teks dengan aspek luar bahasa. Interaksi tersebut selain menentukan karakteristik bentuk komunikasi ataupun penggunaan bahasanya juga berfungsi dalam menentukan makna suatu teks. Unsur yang dimaksudkan adalah diluar bahasa tersebut merujuk kepada ppemeran/partisipasn atau peserta komunikasi, tujuan, dan konteks dalam perpesktif kajian linguistik secara kritis, konteks tersebutmeliputi konteks ujaran, kebudayaan, dan konteks referensi.
Ada enam konsep utama teks dalam pandangan Vandijk (Sugira Wahid dan Juanda, 2006: 77), yaitu:
1.       Suatu teks adalah suatu entitas yang dirangkum dalam suatu topik
2.       Beberapa teks merupakan suatu wilayah pengertian yang secara hirarkis diorganisasikan mulai dari tingkat permukaan sampai ke dalam dan sampai pada topik yang lebih umum.
3.       Tingkat luaran (permukaan) suatu teks terdiri atas kata-kata (atau simbol-simbol) yang sebenarnya merupakan rangkaian ungkapan.
4.       Tingkat permukaan secara berturut-turut dapat dianalisis secara logis guna menunjukkan struktur logis atau hubungan linear atau koherensi linear.
5.       Tidak asa satupun teks yang secara utuh dipahamai secara sederhana melalui analisis logis struktur urutan llinear karena semua relasi logis antar proposisi tidak pernah sepenuhnya terlakrifikasi berdasarkan bukti-bukti simbolik.
6.       Kadang-kadang apa yang dikatakan (secara simbolik ditunjukkan) pada tingkat permukaan (luaran) memberi kita pemahaman apa yang terdapat pada tingkat yang lebih dalam seperti yang tampak pada teks.
Sejalan dengan yang disampaikan dengan Fowler, Cook (Sugira Wahid dan Juanda, 2006: 78) merumuskannnya sebagaiberikut:
(a)    Teks merupakan semua bentuk bahasa baik  itu kata-kata yang tercetak di kertas, tetapi juga berbagai ekspresi komunikasi, seperti: ucapan, musik, gambar, efek suara, citra, dan lain-lain.
(b)   Konteks terdiri atas semua situasi yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa seperti: partisipan, situasi, fungsi, dan lain-lain.
(c)    Wacana, menurutnya adalah teks dan konteks sebagai suatu kesatuan.
Dalam pandangan Halliday, teks dimaknai secara dinamis. Teks adalah bahasa yang sedang melaksanakan tugas tertentu dalam konteks situasi (Halliday & Hasan, 1994:13). Teks adalah contoh interaksi lingual tempat masyarakat secara aktual menggunakan bahasa; apa saja yang dikatakan atau ditulis; dalam konteks yang operasional(operational context) yang dibedakandari konteks kutipan (a citational context), seperti kata-kata yang didaftar dalam kamus (Halliday). Teks berkaitan dengan apa yang secara aktual dilakukan, dimaknai, dan dikatakan oleh masyarakatdalam situasi yang nyata.
Dalam rumusan yang lain, Halliday berpendapat bahwa teks adalah suatu pilihan semantis (semantic choice) dalam konteks sosial, suatu cara pengungkapan makna lewat bahasa lisan atau tulis (Sutjaja,1990: 74). Semua bahasa yang hidup yang mengambil bagian tertentu dalam konteks situasi dapat dinamakan teks. Terkait dengan teks, Halliday memberikan beberapapenjelasan berikut.
Pertama, teks adalah unit semantis. Menurut Halliday (dalam Santoso, 2008), kualitas tekstur tidak didefinisikan dari ukuran. Teks adalah sebuah konsep semantis. Meskipun terdapat pengertian sebagai sesuatu di atas kalimat (super-sentence), sesuatu yang lebih besar daripada kalimat, dalam pandangan Halliday hal itu secara esensial, salah tunjuk pada kualitas teks. Kita tidak dapat merumuskanbahwa teks itu lebih besar atau lebih panjang daripada kalimat atau klausa. Ditegaskan oleh Halliday (1994) dalam kenyataannya kalimat-kalimat itu lebih merupakan realisasi teks daripada merupakan sebuah teks tersebut. Sebuah teks tidak tersusun dari kalimat-kalimat atau klausa,tetapi direalisasikan dalam kalimat-kalimat.
Kedua, teks dapat memproyeksikan makna kepada level yang lebih tinggi. Menurut Halliday (dalam Santoso, 2008), sebuah teks selain dapat direalisasikan dalam level-level sistem lingual yang lebih rendah seperti sistem leksikogramatis dan fonologis juga merupakan realisasi dari level yang lebih tinggi dari interpretasi, kesastraan, sosiologis,psikoanalitis, dan sebagainya yang dimilikioleh teks itu. Level-level yang lebih rendah itu memiliki kekuatan untuk memproyeksikan makna pada level yang lebihtinggi, yang oleh Halliday diberi istilah latar depan (foregrounded).
Ketiga, teks adalah proses sosiosemantis. Halliday (dalam Santoso, 2008) berpendapat bahwa dalam arti yang sangat umum sebuah teks merupakan sebuah peristiwa sosiologis, sebuah perjumpaan semiotis melalui makna-makna yang berupa sistem sosial yang sedang saling dipertukarkan. Anggota masyarakat yakni individu-individu adalah seorang pemakna (meaner). Melalui tindak tanduk pemaknaan antara individu bersama individu lainnya, realitas sosial diciptakan, dijaga dalam urutan yang baik, dan secara terus-menerus disusun dan dimodifikasi.
Fitur esensial sebuah teks adalah adanya interaksi. Dalam pertukaran makna itu terjadi perjuangan semantis (semantic contest) antara individu-individu yang terlibat. Karena sifatnya yang perjuangan itu,makna akan selalu bersifat ganda, tidak ada makna yang bersifat tunggal begitu saja. Dengan demikian, pilihan bahasa pada hakikatnya adalah perjuangan atau pertarungan untuk memilih kode-kode bahasa tertentu.
Keempat, situasi adalah faktor penentu teks. Menurut Halliday (dalam Santoso, 2008), makna diciptakan oleh sistem sosial dan dipertukarkan oleh anggota-anggota masyarakat dalam bentuk teks. Makna tidak diciptakan dalam keadaan terisolasi dari lingkungannya. Secara tegas dirumuskan oleh Halliday bahwa makna adalah sistem sosial. Perubahan dalam sistem sosial akan direfleksikan dalam teks. Situasi akan menentukan bentuk dan makna teks.
2.       Koteks
Nong (2009) Koteks adalah teks yang bersifat sejajar, koordinatif, dan memiliki hubungan dengan teks lainnya, teks satu memiliki hubungan dengan teks lainnya. Teks lain tersebut bisa berada di depan (mendahului) atau di belakang (mengiringi).
Keberadaan koteks dalam suatu struktur wacana menunjukkan bahwa teks tersebut memiliki struktur yang saling berkaitan satu dengan yang lain. Gejala inilah yang menyebabkan suatu wacana menjadi utuh dan lengkap. Dengan demikian, koteks berfungsi sebagai alat bentu memahami dan menganalisis wacana. Koteks adalah teks yang berhubungan dengan sebuah teks yang lain. Koteks dapat pula berupa unsur teks dalam sebuah teks. Wujud koteks bermacam-macam, dapat berupa kalimat, atau paragraf. Koteks disebut juga sebagai konteks lingusitik. Contoh penggunaan koteks adalah sebagai berikut.
Terimakasih.
Jalan pelan-pelan! Banyak anak-anak.
Wacana dua adalah peringatan bagi orang yang akan melewati jalan kampung. Apabila pejalan telah menaatinya misalnya dengan mengurangi laju kendaraanya, maka wacana satu adalah satu ucapan yang diberikan masyarakat setempat kepada pejalan. Salah satu teks tersebut berkedudukan sebagai koteks (teks penjelas) bagi teks lainnya.
3. Konteks
3.1 Hakikat Konteks
Konteks adalah benda atau hal yang berada bersama teks dan menjadi lingkungan atau situasi penggunaan bahasa. Konteks tersebut dapat berupa konteks linguistik dan dapat pula berupa konteks ekstralinguistik. Konteks linguistik yang juga berupa teks atau bagian teks dan menjadi lingkungan sebuah teks dalam wacana yang sama dapat disebut konteks ekstralinguistik berupa hal-hal yang bukan unsur bahasa, seperti partisipan, topik, latar atau setting (tempat, waktu, dan peristiwa), saluran (bahasa lisan atau tulis), bentuk komunikasi (dialog, monolog, atau polilog)
Pengguna bahasa harus memperhatikan konteks agar dapat menggunakan bahasa secara tepat dan menentukan makna secara tepat pula. Dengan kata lain, pengguna bahasa senantiasa terikat konteks dalam menggunakan bahasa. Konteks yang harus diperhatikan adalah konteks linguistik dan konteks ekstralinguistik.
Situasi adalah lingkungan tempat teks beroperasi. Konteks situasi adalah keseluruhan lingkungan, baik lingkungan tutur (verbal) maupun lingkungan tempat teks itu diproduksi (diucapkan atau ditulis). Untuk memahami teks dengan sebaik-baiknya, diperlukan pemahaman terhadap konteks situasi dan konteks budayanya. Dalam pandangan Halliday (dalam Santoso, 2008), konteks situasiterdiri atas tiga unsur, yakni (i) medan wacana,(ii) pelibat wacana, dan (iii) moduswacana.
Medan wacana (field of discourse) merujuk kepada aktivitas sosial yang sedang terjadi serta latar institusi tempat satuan-satuan bahasa itu muncul. Untuk menganalisis medan, kita dapat mengajukan pertanyaan what is going on, yang mencakup tiga hal, yakni ranah pengalaman, tujuanjangka pendek, dan tujuan jangka panjang. Ranah pengalaman merujuk kepada ketransitifan yang mempertanyakan apa yang terjadi dengan seluruh proses, partisipan, dan keadaan. Tujuan jangka pendek merujuk pada tujuan yang harus segera dicapai.
Tujuan itu bersifat amat konkret. Tujuan jangka panjang merujuk pada tempatteks dalam skema suatu persoalan yang lebihbesar. Tujuan tersebut bersifat lebih abstrak. Pelibat wacana (tenor of discourse) merujukpada hakikat relasi antarpartisipan, termasuk pemahaman peran dan statusnya dalam konteks sosial dan lingual. Untukmenganalisis pelibat, kita dapat mengajukanpertanyaan who is taking part, yang mencakuptiga hal, yakni peran agen atau masyarakat, status sosial, dan jarak sosial.Peran terkait dengan fungsi yang dijalankanindividu atau masyarakat. Status terkaitdengan tempat individu dalam masyarakat sehubungan dengan orang-orang lain,sejajar atau tidak. Jarak sosial terkait dengantingkat pengenalan partisipan terhadap partisipan lainnya, akrab atau memiliki jarak.
Peran, status, dan jarak sosial dapat bersifat sementara dan dapat pula permanen. Modus wacana (mode of discourse) merujukpada bagian bahasa yang sedang dimainkandalam situasi, termasuk saluranyang dipilih, apakah lisan atau tulisan. Untukmenganalisis modus, pertanyaan yangdapat diajukan adalah what s role assignedto language, yang mencakup lima hal, yakniperan bahasa, tipe interaksi, medium, saluran,dan modus retoris.
Peran bahasa terkait dengan kedudukan bahasa dalam aktivitas: bisa saja bahasa bersifat wajib (konstitutif) atau tidak wajib/penyokong/tambahan. Peran wajib terjadi apabila bahasa sebagai aktivitas keseluruhan. Peran tambahan terjadi apabila bahasa membantu aktivitas lainnya. Tipe interaksi merujuk pada jumlah pelaku: monologis atau dialogis. Medium terkait dengan sarana yang digunakan: lisan, tulisan, atau isyarat. Saluran berkaitan dengan bagaimana teks itu dapat diterima: fonis, grafis, atau visual. Modus retoris merujuk pada perasaan teks secara keseluruhan, yakni persuasif, kesastraan, akademis, edukatif, mantra, dan sebagainya.
2.2 Macam-macam Konteks
Konteks adalah sesuatu yang menyertai atau yang bersama teks. Secara garis besar, konteks wacana dibedakan atas dua kategori, yakni konteks linguistik dan konteks ekstralinguistik. Konteks linguistik adalah konteks yang berupa unsur-unsur bahasa. Konteks linguistik itu mencakup penyebutan depan, sifat kata kerja, kata kerja bantu, dan proposisi positif
Di samping konteks ada juga koteks. Koteks adalah teks yang berhubungan dengan sebuah teks yang lain. Koteks dapat pula berupa unsur teks dalam sebuah teks. Wujud koteks bermacam-macam, dapat berupa kalimat, paragraf, dan bahkan wacana.
Konteks ekstralinguistik adalah konteks yang bukan berupa unsur-unsur bahasa. Konteks ekstralinguistik itu mencakup praanggapan, partisipan, topik atau kerangka topik, latar, saluran, dan kode. Partisipan adalah pelaku atau orang yang berpartisipasi dalam peristiwa komunikasi berbahasa. Partisipan mencakup penutur, mitra tutur. dan pendengar. Latar adalah tempat dan waktu serta peristiwa beradanya komunikasi. Saluran adalah ragam bahasa dan sarana yang digunakan dalam penggunaan wacana. Kode adalah bahasa atau dialek yang digunakan dalam wacana.
Dalam menganalisis wancana sasaran utamanya bukan pada struktur kalimat tetapi pada status dan nilai fungsional kalimat dalam konteks, baik itu konteks linguistik ataupun konteks ekstralinguistik.
Tiga manfaat konteks dalam analisis wancana.
  1. Penggunaan konteks untuk mencari acuan, yaitu pembentukan acuan berdasarkan konteks linguistik.
  2. Penggunaan konteks untuk menentukan maksud tuturan, yaitu bahwa maksud sebuah tuturan ditentukan oleh konteks wancana.
  3. Penggunaan konteks untuk mencari bentuk tak terujar yaitu bentuk yang memiliki unsur tak terujar atau bentuk eliptis adalah bentuk yang hanya dapat ditentukan berdasarkan konteks.
Jufri (2008: 22) menjelaskan bahwa konteks dalam analisis wacana kritis dipandang perlu mengkaji tentang latar, situasi, peristiwa, dan kondisi. Dalam perpektif kritis wacana dipahami sebagai penggunaan bahasa sebagai praktek sosial. Wacana harus dipahamai dari tiga dimensi kewacanaan secara simultan, wacana, teks, dan praktek sosial kultural.
Fairclough (Jufri, 2008: 22) berpandangan bahwa dimensi kewacanaan secara simultan, seperti dimensi teks meliputi bahasa lisan dan Tulisan dimensi praktek wacana yang berkaitan dengan produksi dan interpretasi teks, dan dimensi praktek sosial kultural yang berkaitan dengan perubahan aspek sosial masyarakat, intitusi, dan kebudayaan turut menentukan bentuk dan makna sebuah wacana.
Dalam pemahaman teks dapat dipertimbangkan faktor historisnya karena wacana diproduksi dalam konteks tertentu. Oleh karena itu, untuk memahamai teks tersebut yang terpenting perlu diperhatikan adalah konteks historis tertentu. Pemahaman wacana dapat diperoleh apabila kalau kita dapat memahami konteks historis di tempat teks tersebut diproduksi. (Jufri, 2008: 23)

4. Pandangan tentang Teks adalah Proses Sosiosemantis
Halliday (dalam Santoso, 2008) berpendapat bahwa sebuah teks merupakan sebuah peristiwa sosiologis, sebuah perjumpaan semiotis melalui makna-makna yang berupa sistem sosial yang sedang saling dipertukarkan. Anggota masyarakat adalah seorang pemakna. Dalam pertukaran makna itu, terjadi perjuangan semantis (semantic contest) antara individu-individu yang terlibat. Karena sifatnya yang perjuangan itu, makna akan selalu bersifat ganda, tidak ada makna yang bersifat tunggal begitu saja. Dengan demikian, pilihan bahasa pada hakikatnya adalah perjuangan atau pertarungan untuk memilih kode-kode bahasa tertentu.
Jejak pandangan Halliday tersebut dapat dilacak pada pandangan Menz dan Birch tentang pilihan bahasa. Menurut mereka, makna dan nilai dari pilihan bahasa bukan menjadi milik individu yang unik, tetapi diproduksi dalam perjuangan atau perebutan komunikatif (communicative struggle) dan interaksi aktual yang ditentukan secara ideologis dan dimotivasi secara politis. Merujuk pada pandangan ini, aktor yang memproduksi teks bukanlah individu yang merdeka , tetapi ia merupakan individu yang diatur oleh dimensidimensi sosiokultural dan institusional yang determinatif. Individu-individu sering berada di bawah kesadaran dalam melakukan pilihan bahasa itu.
Senada dengan pandangan Menz, menurut Birch (dalam Santoso, 2008), pilihan bahasa dibuat menurut seperangkat kendala (constraints) politis, sosial, kultural, dan ideologi. Ada kekuatan di luar individu yang ikut menentukan bentuk bahasa tertentu yang akan digunakan.
Hal itu sering terjadi secara bawah sadar. Implikasinya adalah bahwa masyarakat dapat dimanipulasi, dikehendaki dalam aturan yang baik (good order), dan dinilai peran dan status bawahan serta atasan (inferior-superior) melalui sistem strategi sosial yang melibatkan aspek-aspek: kuasa, aturan, subordinasi, solidaritas, kohesi, antagonisme, kesenangan, dan sebagainya yang semuanya merupakan bagian integral dari kontrol terhadap masyarakat.
Konsep sosiosemantis di atas juga dapat dilacak pada pandangan Fowler (dalam Santoso, 2008) tentang ketidaknetralan kode kebahasaan karena menjalankan fungsi representasi. Kode kebahasaan atau lingual tidak merefleksikan realitas secara netral. Kode lingual itu menafsirkan, mengorganisasikan, dan mengklasifikasikan subjek-subjek wacana.
Wacana tertentu selalu membentuk teori tentang bagaimana dunia itu disusun. Hal itulah yang disebut pandangan dunia atau ideologi . Bahasa tidak hanya sebagai pengetahuan yang internal dan pasif. Sebaliknya, bahasa adalah aktivitas yang dibawa dalam berbicara, menyimak, menulis, dan membaca yang aktual dan intensif setiap hari. Dalam konteks itu, peringatan Fowler perlu dicamkan, yakni akal sehat itu bukan se-suatu yang alamiah, tetapi produk dari konvensi sosial . Oleh karena itu, akal sehat itu perlu dikritisi.
Makna sosial dihasilkan dari konstruksi sosial realitas. Yang menjadi persoalan adalah ketika berhadapan dengan kata-kata yang mengandung makna sosial itu banyak anggota masyarakat menyikapinya sebagai kata yang mengandung makna alamiah sehingga kata-kata tersebut dianggap sebagai sesuatu yang berupa akal sehat. Dalam persoalan ini, Fowler (dalam Santoso, 2008) menegaskan bahwa bahasa-bahasa itu beragam dalam mengodekan makna, bahkan dalam menganggap sebuah area dasar dan strukturstruktur pengalaman. Hal tersebut sesuai dengan rumusan Halliday bahwa bahasa melayani ekspresi, bahasa memiliki representasi, atau bahasa memiliki fungsi ideasional tempat penutur atau penulis mewujudkan pengalaman dari dunia nyata ke dalam bahasa. Pengalaman manusia, apa yang kita ketahui, dan apa yang kita butuhkan selain sudah dikodekan dalam sumber makna yang bersifat personal, juga produk dari posisi kita dalam relasi-relasi sosioekonomis.
Fowler (dalam Santoso, 2008) selalu mempertahankan tesisnya bahwa teks merupakan realisasi sebuah modus wacana, biasanya lebih dari satu modus. Sebuah teks bukan hanya karya individual. Teks yang dihasilkan oleh penghasil teks sebagai individu bukanlah hasil dari keseluruhan individu itu. Teks yang dihasilkan mungkin saja berasal dari wacana praada (baca: sebelumnya) yang itu semua berakar pada kondisi-kondisi sosial, ekonomi, politis, dan ideologis yang terletak jauh di balik kesadaran dan kontrol penghasil teksnya. Sebuah teks yang lahir mungkin saja hasil dari suatu perjuangan di antara banyak tangan penghasil wacana itu.
Dengan demikian, kajian bahasa hakikatnya adalah kajian kewacanaan yang bersifat historis. Sistem bahasa merupakan bagian yang integral dari struktur dan proses sosial. Sebuah wacana tidak dapat terlepas dari dimensi kesejarahan. Sebuah tuturan politik oleh seorang pemimpin partai, misalnya, bukanlah teks yang vakum sosial.
Sebaliknya, teks tuturan itu dibentuk oleh sebuah proses yang rumit dan panjang dalam pertarungan sosial. Banyak tangan yang ikut campur menentukan bentuk dan isi teksturnya. Kajian terhadap teks-teks bahasa bukan semata-mata untuk kajian teks itu sendiri yang amat terbatas. Akan tetapi, kajian teks adalah kajian kewacanaan yang bersifat sosiosemantis dengan mengikutsertakan dimensi kritis, yakni politis, ideologis, dan kultural tentang bagaimana masyarakat dan institusi membuat makna melalui teks.

5. Pandangan tentang Kesatuan Teks dengan Konteksnya
Halliday mengemukakan bahwa teks itu selalu dilingkupi konteks situasi dan konteks budaya (dalam Santoso, 2008). Konteks situasi adalah keseluruhan lingkungan, baik lingkungan tutur (verbal) maupun lingkungan tempat teks itu diproduksi (diucapkan atau ditulis). Di atas konteks situasi terdapat konteks budaya yang melingkupi teks dan konteks situasi. Untuk memahami teks dengan sebaik-baiknya, diperlukan pemahaman terhadap konteks situasi dan konteks budaya.
Jejak Halliday tersebut dapat ditemukan dalam pandangan Fowler (1986:70) bahwa satuan bahasa dalam penggunaan yang nyata lebih dari sekadar sebuah teks yang dibangun bersama-sama dengan konvensi dasarnya, tetapi lebih banyak berupa wacana dari yang sudah dilahirkannya itu. Fowler membedakan konsep teks dan wacana. Wacana dibangun dari teks dan konteks. Untuk melihat bahasa sebagai teks membawa kita kepada kajian keseluruhan unit-unit komunikasi yang dilihat sebagai struktur sintaksis dan semantik yang koheren yang dapat diucapkan atau ditulis.
Dalam pandangan kritis, teks dipandang secara dinamis sebagai komunikasi interpersonal dalam konteks. Dengan demikian, teks dapat dipandang sebagai medium wacana. Untuk melihat bahasa sebagai wacana membawa kita kepada keseluruhan proses interaksi lingual yang rumit antara masyarakat yang menghasilkan dan masyarakat yang memahami teks.

2 komentar:

  1. Pak, saya mau tanya. Berhubungan dengan macam-macam konteks yang dibahas di tulisan ini, referensinya bukunya apa ya? Saya sedang skripsi, kebetulan ambil analisis wacana. Mohon bantuannya. Terima kasih.

    BalasHapus
  2. apakah metode ini bisa cocok jika saya sedang membuat penelitian ilmiah terkait pembunuhan salim kancil dari segi makna teks pemberitaan media?

    BalasHapus