Rabu, 09 Maret 2011

Analisis Kesalahan Berbahasa


Bahasa sangat berperan penting dalam kehidupan manusia. Tanpa bahasa, maka kehidupan manusia akan kacau. Sebab dengan bahasalah manusia dapat menyampaikan isi hatinya, baik perasaan senang, sedih, kesal dan hal lainnya. Jadi, dengan adanya bahasa, manusia dapat menerima informasi antarsesamanya. Selain berfungsi sebagai ungkapan ekspresi, bahasa juga berfungsi sebagai sarana pengajaran. Proses belajar mengajar tidak akan berjalan tanpa adanya suatu media pengantar yaitu bahasa.
Bahasa Indonesia merupakan bahasa terpenting di negara Republik Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara yang telah ditetapkan dan dikukuhkan dalan Sumpah Pemuda tahun1928 dan UUD 1945, BAB XV pada pasal 36. Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai lambang kebanggaan bangsa, identitas nasional dan alat perhubungan antardaerah. Fungsi bahasa Indonesia sebagai sebagai bahasa negara adalah sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa pengantar dunia pendidikan, alat perhubungan tingkat nasional, alat pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan serta teknologi. Oleh karena pentingnya bahasa Indonesia maka di dunia pendidikan, baik negeri maupun swasta, bahasa Indonesia dicantumkan sebagai mata pelajaran wajib mulai dari sekolah dasar sampai ke sekolah menengah umum, dan pada perguruan tinggi bahasa Indonesia dicantumkan sebagai mata kuliah pilihan dalam kumpulan mata kuliah ilmu pengetahuan dan teknologi.
Keterampilan berbahasa (Language Skills) dalam kurikulum di sekolah mencakup empat kegiatan keterampilan  yaitu menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Setiap kegiatan keterampilan berbahasa erat pula hubungannya dengan proses berpikir yang mendasari bahasa. 
Salah satu aspek keterampilan menulis adalah sebuah keterampilan berbahasa yang terpadu, yang ditujukan untuk menghasilkan sesuatu yang disebut tulisan. Sekurang-kurangnya, ada tiga komponen yang tergabung dalam perbuatan menulis, yaitu: (1) penguasaan bahasa tulis, yang akan berfungsi sebagai media tulisan, meliputi: kosakata, struktur kalimat, paragraf, ejaan, pragmatik, dan sebagainya; (2) penguasaan isi karangan sesuai dengan topik yang akan ditulis; dan (3) penguasaan tentang jenis-jenis tulisan, yaitu bagaimana merangkai isi tulisan dengan menggunakan bahasa tulis sehingga membentuk sebuah komposisi yang diinginkan, seperti esai, artikel, cerita pendek, makalah, dan sebagainya.
Seorang penulis pemula tidak akan mungkin terampil menulis kalau hanya menguasai satu atau dua komponen saja di antara ketiga komponen tersebut. Betapa banyak penutur yang menguasai bahasa Indonesia secara tertulis tetapi tidak dapat menghasilkan tulisan karena tidak tahu apa yang akan ditulis dan bagaimana menuliskannya. Betapa banyak pula penutur yang mengetahui banyak hal untuk ditulis dan tahu pula menggunakan bahasa tulis tetapi tidak dapat menulis karena tidak tahu caranya.
            Menulis bukan pekerjaan yang sulit melainkan juga tidak mudah. Untuk memulai menulis, setiap penulis tidak perlu menunggu menjadi seorang penulis yang terampil. Belajar teori menulis itu mudah, tetapi untuk mempraktikkannya tidak cukup sekali dua kali. Frekuensi latihan menulis akan menjadikan seseorang terampil dalam bidang tulis-menulis.
Tidak ada waktu yang tidak tepat untuk memulai menulis. Artinya, kapan pun, di mana pun, dan dalam situasi apapun dapat melakukannya. Ketakutan akan kegagalan bukanlah penyebab yang harus dipertahankan. Itulah salah satu kiat, teknik, dan strategi yang ditawarkan oleh David Nunan (1991: 86—90) dalam bukunya Language Teaching Methodology. Dia menawarkan suatu konsep pengembangan keterampilan menulis yang meliputi: (1) perbedaan antara bahasa lisan dan bahasa tulisan, (2) menulis sebagai suatu proses dan menulis sebagai suatu produk, (3) struktur generik wacana tulis, (4) perbedaan antara penulis terampil dan penulis yang tidak terampil, dan (5) penerapan keterampilan menulis dalam proses pembelajaran.
Pencapaian tulisan yang baik harus mengandung unsur kebahasaan yang kompleks tanpa mengabaikan unsur-unsur terkecil aspek kabahasan yang menunjang terbentuk sebuah tulisan yang baik. Dalam hal ini, aspek ejaan merupakan aspek terpenting dalam pembetukan tulisan yang baik. Diketahui bahwa ejaan menentukan proses pembentukan kalimat dan kebermaknaan kalimat. Oleh karena itu meminimalisasi kesalahan penggunaan ejaan sangat penting dalam sebuah tulisan.
 Kesalahan berbahasa yang dihasilkan seseorang untuk dianalisis haruslah data yang dapat dipercaya (reliable) dan sahih yang menggambarkan kemampuan seseorang dalam berbahasa. Analisis kesalahan berbahasa dilakukan dengan menganalisis (mengidentifikasi) kesalahan aspek-aspek bahasa tertentu yang mendukung wacana yang dihasilkan seseorang. Kadang-kadang kesalahan yang bersifat kompleks mencakup berbagai aspek sekaligus, kadang kala pula bersifat sederhana. Terhadap kesalahan yang bersifat kompleks perlu diberlakukan pengkajian secara integratif.
Dalam hubungannya dengan penelitian ini, analisis kesalahan berbahasa tepat dilakukan oleh peneliti sebagai usaha kearah perbaikan, pembinaan dan pengembangan pengajaran bahasa. Corder mengemukakan bahwa mempelajari kesalahan bahasa akan memberi keuntungan bagi para peneliti (1975:31) para peneliti akan memperoleh penjelasan tentang letak kesalahan tersebut dan bagaimana cara atau proses pengusaan (akuisi) bahasa terjadi. Manfaat lain adalah kenyataan bahwa selalu terjadi kesalahan pemakai bahasa dalam pemakaian bahasa dan dapat memanfaatkan kesalahan itu sebagai alat bagi orang tersebut sebagai sesuatu yang harus dibenarkan.
Dalam bukunya yang berjudul “Common Error in Language Learning” H.V. George mengemukakan bahwa kesalahan berbahasa adalah pemakaian bentuk-bentuk tuturan yang tidak diinginkan (unwanted form) khususnya suatu bentuk tuturan yang tidak diinginkan oleh penyusun program dan guru pengajaran bahasa. Bentuk-bentuk tuturan yang tidak diinginkan adalah bentuk-bentuk tuturan yang menyimpang dari kaidah bahasa baku. Hal ini sesuai dengan pendapat Albert Valdman yang mengatakan bahwa yang pertama-tama harus dipikirkan sebelum mengadakan pembahasan tentang berbagai pendekatan dan analisis kesalahan berbahasa adalah menetapkan standar penyimpangan atau kesalahan. Sebagian besar guru bahasa Indonesia menggunakan kriteria ragam bahasa baku sebagai standar penyimpangan.
Pengertian kesalahan berbahasa dibahas juga oleh S. Piet Corder dalam bukunya yang berjudul Introducing Applied Linguistics. Dikemukakan oleh Corder bahwa yang dimaksud dengan kesalahan berbahasa adalah pelanggaran terhadap kode berbahasa. Pelanggaran ini bukan hanya bersifat fisik, melainkan juga merupakan tanda kurang sempurnanya pengetahuan dan penguasaan terhadap kode. Si pembelajar bahasa belum menginternalisasikan kaidah bahasa (kedua) yang dipelajarinya. Dikatakan oleh Corder bahwa baik penutur asli maupun bukan penutur asli sama-sama mempunyai kemugkinan berbuat kesalahan berbahasa. Berdasarkan berbagai pendapat tentang pengertian kesalahan berbahasa yang telah disebutkan di atas, dapatlah dikemukakan bahwa kesalahan berbahasa Indonesia adalah pemakaian bentuk-bentuk tuturan berbagai unit kebahasaan yang meliputi kata, kalimat, paragraf, yang menyimpang dari sistem kaidah bahasa Indonesia baku, serta pemakaian ejaan dan tanda baca yang menyimpang dari sistem ejaan dan tanda baca yang telah ditetapkan sebagaimana dinyatakan dalam buku Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Adapun sistem kaidah bahasa Indonesia yang digunakan sebagai standar acuan atau kriteria untuk menentukan suatu bentuk tuturan salah atau tidak adalah sistem kaidah bahasa baku.

Selasa, 11 Januari 2011

EKSISTENSI SASTRA TERHADAP PENGARUH GLOBALISASI DALAM KONTEKS PENDIDIKAN

Pendahuluan

Ketika kita membahas masalah perkembangan sastra Indonesia, bayangan kita seringkali tertuju pada angkatan-angkatan sastra Indonesia, seperti angkatan 1920-an atau disebut juga angkatan Balai Pustaka; angkatan 1933, yang disebut juga angkatan Pujangga Baru; angkatan 1945 yang disebut angkatan Pendobrak, dan angakatn 1966 atau disebut juga angkatan Orde Lama.

Angkatan 1920-an identik dengan novel Marah Rusli berjudul Siti Nurbaya; angkatan 1933 dengan tokoh sastrawannya Sutan Takdir Alisahbana (dalam bidang prosa) dan Amir Hamzah (bidang puisi). Angjatan 1945 dengan tokoh sentralnya, Chairil Anwar dengan puisi-puisinya yang sangat monumental berjudul Aku. Angkatan 1966 dengan tokoh centralnya Dr. Taufik Ismail dengan kumpulan puisinya berjudul Tirani dan Benteng.

Pembagian angkatan seperti itu dikemukakan oleh Hans Bague Jassin (H.B. Jassin), seorang ahli sastra Indonesia yang sering disebut-sebut sebagai Paus Sastra Indonesia. Tentu boleh-boleh saja kita setuju dengan pembagian seperti itu, apalagi memang kepakaran H.B. Jassin dalam mengapresiasi sastra Indonesia cukup mumpuni. Tetapi yang lebih penting kita ketahui adalah bahwa sastra Indonesia dari masa ke masa mengalami perkembangan.

Menarik untuk diperhatikan bahwa perkembangan sastra Indonesia berbanding lurus dengan perkembangan dunia pendidikan di Indonesia. Pendidikan di Indonesia, terutama pendidikan formal, dimulai tahun 1900-an, yaitu ketika penjajah Belanda membolehkan bangsa boemi poetra (sebutan untuk orang Indonesia oleh Belanda) memasuki pendidikan formal. Tentu saja pendidikan formal saat itu adalah milik penjajah Belanda. Pada saat sekarang ini sastra sebagai mata pelajaran di sekolah sebagai salah sub kajian dalam muatan pengajaran bahasa Indonesia. Hanya saja sastra sebagai salah disiplin ilmu yang berdiri sendiri tak bisa dipisahkan dengan bahasa Indonesia, karena mempunyai objek yang sama yaitu bahasa.

Terlepas dari itu eksistensi sastra sekarang ini, masih sangat dibutuhkan. Hal ini didasari betapa pentingnya nilai-nilai sastra dalam perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Mengkaji sastra berarti mengkaji nilai-nilai yang terdapat di dalamnya. Sastra merupakan representasi nilai-nilai sosial budaya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sastra (karya sastra) lahir dari proses dan potret kehidupan masa kini dan masa yang akan datang.

GLOBALISASI DAN PENGARUHNYA

Globalisasi berarti suatu proses yang terjadi pada masyarakat dunia. Globalisasi tersebut memungkinkan terbukanya berbagai batas baik fisik, psikologi, maupun kultural di antara warga dunia. Globalisasi sekaligus berarti meningkatnya pertukaran arus informasi, terbukanya wawasan-wawasan baru, dan tersedianya berbagai pilihan dengan skala prioritas untuk menentukan arah tindakan seseorang. Secara psikologis, individu dalam proses seperti ini akan mengalami perubahan-perubahan kognetif dan kebutuhan, yang pada gilirannya akan membawa pembentukan nilai-nilai mengenai hal-hal yang bermakna bagi hidupnya.

Hadirnya atau lebih tepatnya banjirnya peluang, kesempatan, dan pilihan untuk aktualisasi diri sering membuat manusia lupa akan hakikatnya yang sangat mendasar, yakni makhluk ciptaan Tuhan. Manusia terlena dalam banjir informasi sehingga sulit memahami perbedaan antara kebutuhan dan keserakahan, serta keinginan dan kebutuhan, yang pada gilirannya akan mendorong manusia itu untuk secara terus-menerus terlibat dalam kegiatan pemuasan pribadi. Keadaan seperti inilah yang membuat manusia berkembang menjadi makhluk egosentris dan instrumental.

Hempasan kemajuan ilmu, industri, teknologi, alat-alat komunikasi dan transportasi massa, telah mengubah nilai-nilai lama dan orang kini mencari nilai-nilai baru. Gejala-gejala hippie; teater-teater yang dengan cari terbuka mementaskan hubungan kelamin, soal cinta, hubungan keluarga, model-model “toples”; penulisan-penulisan lebih bebas dalam kesusasteraan; dan ungkapan-ungkapan lebih terbuka dalam film tentang hal-hal yang selama ini dianggap ‘tabu’ atau terlarang untuk dibicarakan di depan umum (masalah homoseksual, umpamanya) adalah bagian dari pergolakan dalam pemikiran dan jiwa menusia (Lubis, 1992:16-17).

Manusia cenderung memusatkan kepentingan dan keinginan pribadi sebagai titik sentral di dalam hidupnya. Sementara itu, ilmu pengetahuan dan teknologi modern membuka wahana-wahana baru dalam kehidupan manusia. Selain itu, produk teknologi yang baru memperkaya wawasan manusia. Kecanggihan dan efektivitas teknologi itu dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi manusia. Berada dalam situasi semacam itu, manusia sebagai objek akan mudah kehilangan swakendali (personal control). Oleh karena itu, tidak mengherankan bila para pakar ilmu sosial mengatakan bahwa dalam eraglobalisasi yang begitu cepat, manusia mudah hanyut oleh ulahnya sendiri.

Menurut Abdullah (2006:174) proses globalisasi telah melahirkan diferensiasi yang meluas, yang tampak dari proses pembentukan gaya hidup dan identitas. Gaya hidup terbentuk sejalan dengan munculnya budaya kota yang telah mengubah orientasi masyarakat dari kelompok yang berorientasi pada tata nilai umum ke tata nilai khusus dan dengan batas-batas simbolik baru. Abdullah (2006:183) juga menjelaskan bahwa salah satu agen dari pendefinisian ulang nilai-nilai adalah kaum muda, karena kaum muda selalu dikaitkan dengan kisah pembangkangan atau protes. Banyak kaum muda yang menunjukkan gaya hidup yang keluar dari nilai-nilai umum atau normatif dalam lingkungan sosial tertentu. Dalam hal inilah, konflik antara kaum muda dan tua telah menjadi pertentangan ideologis yang cukup tajam dalam keseluruhan aspek sejarah peradaban.

Kaum muda telah dimarjinalkan akibat proses perajutan jaring makna yang tidak melibatkan mereka, sehingga kaum muda mencari nilai baru yang sesuai dengan kondisi mereka.

Globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas wilayah. Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa- bangsa di seluruh dunia.

Sebagai proses, globalisasi berlangsung melalui dua dimensi dalam interaksi antar bangsa, yaitu dimensi ruang dan waktu. Ruang makin dipersempit dan waktu makin dipersingkat dalam interaksi dan komunikasi pada skala dunia. Globalisasi berlangsung di semua bidang kehidupan seperti bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan. Teknologi informasi dan komunikasi adalah faktor pendukung utama dalam globalisasi. Dewasa ini, perkembangan teknologi begitu cepat sehingga segala informasi dengan berbagai bentuk dan kepentingan dapat tersebar luas ke seluruh dunia.Oleh karena itu globalisasi tidak dapat kita hindari kehadirannya. Kehadiran globalisasi tentunya membawa pengaruh bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia. Pengaruh tersebut meliputi dua sisi yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif. Pengaruh positif sosial budaya yaitu dapat meniru pola berpikir yang baik seperti etos kerja yang tinggi dan disiplin dan Iptek dari bangsa lain yang sudah maju untuk meningkatkan kemajuan bangsa yang pada akhirnya memajukan bangsa serta akan mempertebal jati diri kita terhadap bangsa. Pengaruh negatif globalisasi yaitu masyarakat kita khususnya anak muda banyak yang lupa akan identitas diri sebagai bangsa Indonesia, karena gaya hidupnya cenderung meniru budaya barat yang oleh masyarakat dunia dianggap sebagai kiblat, Munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian sesama warga. Dengan adanya individualisme maka orang tidak akan peduli dengan kehidupan bangsa.

Arus globalisasi begitu cepat merasuk ke dalam masyarakat terutama di kalangan muda. Pengaruh globalisasi tersebut telah membuat banyak anak muda kita kehilangan kepribadian diri sebagai bangsa Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan gejala-gejala yang muncul dalam kehidupan sehari- hari anak muda sekarang. Dari cara berpakaian banyak remaja-remaja kita yang berdandan seperti selebritis yang cenderung ke budaya Barat. Padahal cara berpakaian tersebut jelas- jelas tidak sesuai dengan kebudayaan kita. Tak ketinggalan gaya rambut mereka dicat beraneka warna. Tidak banyak remaja yang mau melestarikan budaya bangsa dengan mengenakan pakaian yang sopan sesuai dengan kepribadian bangsa.

Teknologi internet merupakan teknologi yang memberikan informasi tanpa batas dan dapat diakses oleh siapa saja. Apa lagi bagi anak muda, internet sudah menjadi santapan mereka sehari- hari. Jika digunakan secara semestinya tentu akan memperoleh manfaat yang berguna. Dan sekarang ini, banyak pelajar dan mahasiswa yang menggunakan tidak semestinya. Misal untuk membuka situs-situs porno. Bukan hanya internet saja, ada lagi pegangan wajib mereka yaitu hand phone. Rasa sosial terhadap masyarakat menjadi tidak ada karena mereka lebih memilih sibuk dengan menggunakan handphone. Dilihat dari sikap, banyak anak muda yang tingkah lakunya tidak tahu sopan santun dan cenderung tidak peduli terhadap lingkungan. Karena globalisasi menganut kebebasan dan keterbukaan sehingga mereka bertindak sesuka hati mereka. Jika pengaruh-pengaruh di atas dibiarkan, mau apa jadinya generasi muda bangsa? Moral generasi bangsa menjadi rusak, timbul tindakan anarkhis antara golongan muda. Hubungannya dengan nilai jati diri akan berkurang karena tidak ada rasa cinta terhadap budaya bangsa sendiri dan rasa peduli terhadap masyarakat. Padahal generasi muda adalah penerus masa depan bangsa. Apa akibatnya jika penerus bangsa tidak memiliki jati diri?